Rabu, 17 Oktober 2012

TENTANG KUCING

Mengapa Rasulullah
Sangat Sayang Terhadap
Kucing
Diposting: Redaksi II |
Kamis, 19 Juli 2012 |
Dibaca: 9690
/>NABI Muhammad SAW
memiliki seekor kucing
yang diberi nama
Mueeza. Suatu saat, di
kala Nabi hendak
mengambil jubahnya,
ditemuinya Mueeza
sedang terlelap tidur
dengan santai diatas
jubahnya. Tak ingin
mengganggu hewan
kesayangannya itu, Nabi
pun memotong belahan
lengan yang ditiduri
Mueeza dari jubahnya.
Ketika Nabi kembali ke
rumah, Muezza
terbangun dan
merunduk sujud kepada
majikannya. Sebagai
balasan, Nabi
menyatakan kasih
sayangnya dengan
mengelus lembut ke
badan mungil kucing itu
sebanyak 3 kali.
Dalam aktivitas lain,
setiap kali Nabi
menerima tamu di
rumahnya, nabi selalu
menggendong mueeza
dan di taruh dipahanya.
Salah satu sifat Mueeza
yang Nabi sukai ialah ia
selalu mengeong ketika
mendengar adzan, dan
seolah-olah suaranya
terdengar seperti
mengikuti lantunan
suara adzan.
Kepada para
sahabatnya, Nabi
berpesan untuk
menyayangi kucing
peliharaan, layaknya
menyanyangi keluarga
sendiri.
Hukuman bagi mereka
yang menyakiti hewan
lucu ini sangatlah
serius, dalam sebuah
hadist shahih Al
Bukhari, dikisahkan
tentang seorang wanita
yang tidak pernah
memberi makan
kucingnya, dan tidak
pula melepas kucingnya
untuk mencari makan
sendiri, Nabi
Muhammad SAW pun
menjelaskan bahwa
hukuman bagi wanita
ini adalah siksa neraka.
Dari Ibnu Umar ra
bahwa rasulullah saw
bersabda, “Seorang
wanita dimasukkan
kedalam neraka karena
seekor kucing yang dia
ikat dan tidak diberikan
makan bahkan tidak
diperkenankan makan
binatang-binatang kecil
yang ada di lantai,” (HR.
Bukhari).
Nabi menekankan di
beberapa hadis bahwa
kucing itu tidak najis.
Bahkan diperbolehkan
untuk berwudhu
menggunakan air bekas
minum kucing karena
dianggap suci.
Kenapa Rasulullah Saw
yang buta baca-tulis,
berani mengatakan
bahwa kucing suci,
tidak najis? Lalu,
bagaimana Nabi
mengetahui kalau pada
badan kucing tidak
terdapat najis?
Keistimewaan Kucing
Fakta Ilmiah 1 :
Pada kulit kucing
terdapat otot yang
berfungsi untuk
menolak telur bakteri.
Otot kucing itu juga
dapat menyesuaikan
dengan sentuhan otot
manusia.
Permukaan lidah kucing
tertutupi oleh berbagai
benjolan kecil yang
runcing, benjolan ini
bengkok mengerucut
seperti kikir atau
gergaji. Bentuk ini
sangat berguna untuk
membersihkan kulit.
Ketika kucing minum,
tidak ada setetes pun
cairan yang jatuh dari
lidahnya. Sedangkan
lidah kucing sendiri
merupakan alat
pembersih yang paling
canggih, permukaannya
yang kasar bisa
membuang bulu-bulu
mati dan membersihkan
bulu-bulu yang tersisa
di badannya.
Fakta Ilmiah 2 :
Telah dilakukan
berbagai penelitian
terhadap kucing dan
berbagai perbedaan
usia, perbedaan posisi
kulit, punggung, bagian
dalam telapak kaki,
pelindung mulut, dan
ekor. Pada bagian-
bagian tersebut
dilakukan pengambilan
sample dengan usapan.
Di samping itu,
dilakukan juga
penanaman kuman
pada bagian-bagian
khusus. Terus diambil
juga cairan khusus yang
ada pada dinding dalam
mulut dan lidahnya.
Hasil yang didapatkan
adalah:
- Hasil yang diambil dari
kulit luar tenyata
negatif berkuman,
meskipun dilakukan
berulang-ulang.
- Perbandingan yang
ditanamkan kuman
memberikan hasil
negatif sekitar 80% jika
dilihat dari cairan yang
diambil dari dinding
mulut.
- Cairan yang diambil
dari permukaan lidah
juga memberikan hasil
negatif berkuman.
- Sekalinya ada kuman
yang ditemukan saat
proses penelitian,
kuman itu masuk
kelompok kuman yang
dianggap sebagai
kuman biasa yang
berkembang pada
tubuh manusia dalam
jumlah yang terbatas
seperti, enterobacter,
streptococcus, dan
taphylococcus.
Jumlahnya kurang dan
50 ribu pertumbuhan.
- Tidak ditemukan
kelompok kuman yang
beragam.
- Berbagai sumber yang
dapat dipercaya dan
hasil penelitian
laboratorium
menyimpulkan bahwa
kucing tidak memiliki
kuman dan mikroba.
Liurnya bersih dan
membersihkan.
Komentar Para Dokter
Peneliti
- Menurut Dr. George
Maqshud, ketua
laboratorium di Rumah
Sakit Hewan Baitharah,
jarang sekali ditemukan
adanya kuman pada
lidah kucing.
- Jika kuman itu ada,
maka kucing itu akan
sakit.
- Dr. Gen Gustafsirl
menemukan bahwa
kuman yang paling
banyak terdapat pada
anjing,
- Manusia 1/4 anjing,
kucing 1/2 manusia.
- Dokter hewan di
rumah sakit hewan
Damaskus, Sa’id Rafah
menegaskan bahwa
kucing memiliki
perangkat pembersih
yang bemama lysozyme.
- Kucing tidak suka air
karena air merupakan
tempat yang sangat
subur untuk
pertumbuhan bakteri,
terlebih pada genangan
air (lumpur, genangan
hujan, dll)
- Kucing juga sangat
menjaga kestabilan
kehangatan tubuhnya.
Ia tidak banyak
berjemur dan tidak
dekat-dekat dengan air.
- Tujuannya agar bakteri
tidak berpindah
kepadanya. Inilah yang
menjadi faktor tidak
adanya kuman pada
tubuh kucing.
Fakta Ilmiah 3 :
Dan hasil penelitian
kedokteran dan
percobaan yang telah di
lakukan di laboratorium
hewan, ditemukan
bahwa badan kucing
bersih secara
keseluruhan. Ia lebih
bersih daripada
manusia.
Fakta Ilmiah
Tambahan :
Zaman dahulu kucing
dipakai untuk terapi.
Dengkuran kucing yang
50Hz baik buat
kesehatan selain itu
mengelus kucing juga
bisa menurunkan
tingkat stress.
Sisa makanan kucing
hukumnya suci.
Hadist Kabsyah binti
Ka’b bin Malik
menceritakan bahwa
Abu Qatadah, mertua
Kabsyah, masuk ke
rumahnya lalu ia
menuangkan air untuk
wudhu. Pada saat itu,
datang seekor kucing
yang ingin minum.
Lantas ia menuangkan
air di bejana sampai
kucing itu minum.
Kabsyah berkata,
“Perhatikanlah.” Abu
Qatadah berkata,
“Apakah kamu heran?”
Ia menjawab, “Ya.”
Lalu, Abu Qatadah
berkata bahwa Nabi
SAW prnh bersabda,
“Kucing itu tidak najis.
Ia binatang yang suka
berkeliling di rumah
(binatang rumahan)
,” (H.R At-Tirmidzi, An-
Nasa’i, Abu Dawud, dan
Ibnu Majah).
Diriwayatkan dan Ali
bin Al-Hasan, dan Anas
yang menceritakan
bahwa Nabi Saw pergi
ke Bathhan suatu
daerah di Madinah.
Lalu, beliau berkata,
“Ya Anas, tuangkan air
wudhu untukku ke
dalam bejana.” Lalu,
Anas menuangkan air.
Ketika sudah selesai,
Nabi menuju bejana.
Namun, seekor kucing
datang dan menjilati
bejana. Melihat itu,
Nabi berhenti sampai
kucing tersebut
berhenti minum lalu
berwudhu.
Nabi ditanya mengenai
kejadian tersebut,
beliau menjawab, “Ya
Anas, kucing termasuk
perhiasan rumah
tangga, ia tidak dikotori
sesuatu, bahkan tidak
ada najis.”
Diriwayatkan dari
Dawud bin Shalih At-
Tammar dan ibunya
yang menerangkan
bahwa budaknya
memberikan Aisyah
semangkuk bubur.
Namun, ketika ia
sampai di rumah Aisyah,
tenyata Aisyah sedang
shalat. Lalu, ia
memberikan isyarat
untuk menaruhnya.
Sayangnya, setelah
Aisyah menyelesaikan
shalat, ia lupa ada
bubur.
Datanglah seekor
kucing, lalu memakan
sedikit bubur tersebut.
Ketika ia melihat bubur
tersebut dimakan
kucing, Aisyah lalu
membersihkan bagian
yang disentuh kucing,
dan Aisyah
memakannya.
Rasulullah Saw
bersabda, “Ia tidak
najis. Ia binatang yang
berkeliling.” Aisyah
pernah melihat
Rasulullah Saw
berwudhu dari sisa
jilatan kucing.” (H.R
AlBaihaqi, Abd Al-
Razzaq, dan Al-
Daruquthni).
Hadis ini diriwayatkan
Malik, Ahmad, dan
imam hadits yang lain.
Oleh karena itu, kucing
adalah binatang, yang
badan, keringat, bekas
dari sisa makanannya
adalah suci, Liurnya
bersih dan
membersihkan, serta
hidupnya lebih bersih
daripada manusia.
Mungkin ini pula-lah
mengapa Rasulullah
SAW sangat sayang
kepada Muezza, Kucing
kesayangannya. [fzl/
islampos/
berbagaisumber]

Jumat, 31 Agustus 2012

MUKJIZAT ALQUR-AN 1

Gara-Gara Iddah, Pemimpin
Yahudi Masuk Islam
REPUBLIKA.CO.ID, AMERIKA
-- Robert Guilhem, pakar
genetika dan pemimpin
yahudi di Albert Einstein
College menyatakan
dengan tegas soal
keislamannya. Dia masuk
Islam setelah kagum
dengan ayat-ayat Al-Quran
tentang masa iddah wanita
muslimah selama tiga
bulan. Massa iddah
merupakan massa tunggu
perempuan selama tiga
bulan, selama proses
dicerai suaminya.
Seperti dikutip dari
societyberty.com, hasil
penelitian yang
dilakukannya menunjukkan,
massa iddah wanita sesuai
dengan ayat-ayat yang
tercantum di Alquran. Hasil
studi itu menyimpulkan
hubungan intim suami istri
menyebabkan laki-laki
meninggalkan sidik
khususnya pada
perempuan.
Dia mengatakan jika
pasangan suami istri
(pasutri) tidak bersetubuh,
maka tanda itu secara
perlahan-lahan akan hilang
antara 25-30 persen.
Gelhem menambahkan,
tanda tersebut akan hilang
secara keseluruhan setelah
tiga bulan berlalu. Karena
itu, perempuan yang dicerai
akan siap menerima sidik
khusus laki-laki lainnya
setelah tiga bulan.
Bukti empiris ini mendorong
pakar genetika Yahudi ini
melakukan penelitian dan
pembuktian lain di sebuah
perkampungan Muslim
Afrika di Amerika. Dalam
studinya, ia menemukan
setiap wanita di sana hanya
mengandung sidik khusus
dari pasangan mereka saja.
Penelitian serupa
dilakukannya di
perkampungan nonmuslim
Amerika. Hasil penelitian
membuktikan wanita di
sana yang hamil memiliki
jejak sidik dua hingga tiga
laki-laki. Ini berarti, wanita-
wanita non-muslim di sana
melakukan hubungan intim
selain pernikahannya yang
sah.
Sang pakar juga melakukan
penelitian kepada istrinya
sendiri. Hasilnya
menunjukkan istrinya
ternyata memiliki tiga
rekam sidik laki-laki alias
istrinya berselingkuh. Dari
penelitiannya, hanya satu
dari tiga anaknya saja
berasal dari dirinya.
Setelah penelitian-
penelitian tersebut, dia
akhirnya memutuskan
untuk masuk Islam. Ia
meyakini hanya Islam lah
yang menjaga martabat
perempuan dan menjaga
keutuhan kehidupan sosial.
Ia yakin bahwa perempuan
muslimah adalah yang
paling bersih di muka bumi
ini.

Jumat, 06 Juli 2012

KLIPING TENTANG PENETAPAN AWAL BULAN QAMARIAH

Sering kali sebagian umat islam Indonesia disodori perbedaan mengenai awal puasa dan akhir Ramadlan. Beberapa Tulisan di bawah ini barangkali bisa menjadi sarana pencerah hati dan fikiran kita demi kesempurnaan dalam beribadah.

.

AWAL RAMADLAN 1433 H POTENSIAL BERBEDA

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Awal Ramadhan 1433 Hijriyah tahun 2012 berpotensi kembali terjadi perbedaan di antara ormas-ormas Islam. "Karena ada yang memang ingin berbeda," kata pakar astronomi dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin.

"Pada saat magrib 19 Juli, hilal (bulan) sudah di atas ufuk namun ketinggian hilal kurang dari dua derajat. Kondisi ini membuka peluang terhadap perbedaan," kata Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lapan itu di Jakarta, Jumat (6/7).

Pada saat maghrib tanggal 19 Juli di Indonesia, bulan sudah di atas ufuk, karena itu sebagian muslim yang masih menggunakan kriteria wujudul hilal akan mulai bersahur malam itu dan berpuasa mulai 20 Juli 2012, ujarnya menunjuk Muhammadiyah.

Namun secara umum pada magrib 19 Juli tersebut, di Indonesia ketinggian hilal adalah kurang dari 2 derajat, sehingga kemungkinan terlihatnya hilal adalah mustahil.

Dengan demikian, umat muslim yang mengamalkan hisab imkan rukyat atau yang menggunakan rukyat (mengamati bulan), akan memulai berpuasa pada 21 Juli 2012. Pemerintah, Nahdlatul Ulama dan berbagai ormas lainnya biasanya mengambil posisi ini.

Ilmuwan yang juga anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama itu menyayangkan, Muhammadiyah terus membela kriteria Wujudul Hilal yang sudah usang. Kriteria itu, ujarnya, justru melemahkan sikap kritis internalnya akan bid'ah yang berdampak pada perbedaan penentuan Ramadhan.

"Bid'ah adalah praktek yang terkait dengan ibadah yang tidak ada dasar hukumnya. Banyak yang tidak sadar akan bid'ah wujudul hilal yang mengabaikan rukyat, kriteria ini tidak punya pijakan dalil yang mendukungnya. Dengan demikian wujudul hilal menjadi bid'ah yang nyata, yang biasanya ditolak oleh Muhammadiyah," katanya.

Saat ini garis tanggal qamariyah dibuat berdasarkan kriteria yang ditetapkan dan mudah dibuat dengan menggunakan perangkat lunak astronomi. Perangkat lunaknya pun sudah banyak tersedia, bahkan yang bisa diunduh secara gratis.

"Jadi hisab bukan lagi hal yang rumit, baik untuk menghitung masa lalu maupun masa yang akan datang. Jadi masalahnya adalah menafsirkan garis tanggal itu dan memilih kriteria yang kita gunakan. Karena itulah kriteria seharusnya ditentukan berdasarkan kesepakatan, karena tawaran kriteria astronomi juga beragam," katanya.

Menurut dia keputusan hisab Muhammadiyah keliru dan lebih mementingkan hak untuk berbeda dan mengabaikan kewajiban umat untuk bersatu.

Sementara itu, awal Syawal 1433 H (Idul Fitri 2012) akan seragam yakni jatuh pada 19 Agustus 2012, karena pada saat maghrib 17 Agustus di seluruh wilayah Indonesia bulan masih di bawah ufuk atau belum wujud, ujarnya.

"Dengan rukyat pun tidak mungkin ada kesaksian hilal. Artinya, 18 Agustus merupakan hari terakhir Ramadhan. Sementara pada saat maghrib 18 Agustus, bulan sudah cukup tinggi untuk bisa dirukyat, jadi keduanya tak berbeda," katanya.

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari


Pakar: Ada Pihak Yang Ingin Beda Soal Ramadhan

Jumat, 06 Juli 2012, 14:14 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Potensi perbedaan dimulainya Ramadhan 1433 Hijriah tetap terjadi di tahun ini. Menurut Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama (Kemenag) yang juga merupakan Profesor Riset Astronomi-Astrofisika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, potensi ini terjadi karena ada pihak yang ingin berbeda.

"Ramadhan akan beda karena ada yang ingin beda. Secara astronomi, keputusan hisab Muhammadiyah keliru, karena menggunakan konsep geosentrik," kata Djamaluddin melalui pesan singkatnya, Jumat (6/7).

Dikatakannya, Muhammadiyah mementingkan hak untuk berbeda seperti yang dijamin dalam Pasal 29 UUD 1945. Namun, kata dia, hal tersebut justru mengabaikan kewajiban untuk bersatu. "Kewajiban bersatu itu merupakan perintah Allah SWT pada Alquran Surat Ali Imran (3): 103 yang berbunyi: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai (tafarruq)”," tegasnya.

Anggota Tim Tafsir Ilmi Kemenang ini juga mengatakan dalam blog-nya, dulu Muhammadiyah gencar dengan gerakan pemberantasan TBC (Takhyul, Bid’ah, dan khurafat. Namun pembinaan Muhammadiyah atas dasar taqlid tentang hisab hakiki wujudul hilal telah melemahkan sikap kritis internalnya akan bid’ah yang paling nyata yang berdampak pada perbedaan penentuan waktu ibadah Ramadhan. Hal itu, kata dia, terjadi saat mengawalinya maupun mengakhirinya.

Fokus kritiknya, kata Djamaluddin, soal penentuan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan yang terkait dengan pelaksanaan ibadah, mestinya harus atas dasar dalil-dalil syar’i. Namun, dalil syar’i yang diajukan untuk mendasari wujudul hilal hanyalah Alquran Surat Yasin (36): 40. Ditambahkannya, hal itu diperparah dengan tafsir astronomis yang keliru dan mengabaikan sekian banyak dalil rukyat yang sebenarnya bisa menjadi dasar untuk mendukung kriteria hisab.

Dalam ayat itu disebutkan, "Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya."

Dalil rukyat ketika ditafsirkan secara teknis untuk diterapkan dalam hisab akan berwujud kriteria imkan rukyat hilal (kemungkinan rukyat hilal). Dalam bahasa teknis astronomis disebut kriteria visibilitas hilal. Wujudul hilal mengabaikan rukyat, sehingga tidak punya pijakan dalil qath’i (tegas) yang mendukungnya. "Dengan demikian wujudul hilal menjadi bid’ah yang nyata. Padahal hisab tidak harus wujudul hilal, bisa menggunakan kriteria imkan rukyat yang merupakan tafsir ilmi astronomis atas dalil-dalil rukyat," kata Djamaluddin.


TEKNIK PENETAPAN AWAL BULAN QAMARIAH


Penentuan awal bulan Qamariyah sangat berbeda dengan penentuan waktu shalat dan gerhana bulan maupun gerhana matahari. Dalam Penentuan awal bulan Qomariyah ini banyak sekali terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan awal bulan, baik dalam bulan Ramadhan, bulan Syawal, maupun bulan Dzulhijjah. Meminjam istilah Wahyu Widiana, yang menyatakan bahwa penentuan awal bulan Qomariyah diklasifikasikan kedalam salah satu persoalan yang mempunyai “gereget lebih besar”.[1] Bahkan saking melebarnya perbedaan yang terdapat pada masalah ini, Ahmad Izzuddin dalam sebuah karyanya mengatakannya sebagai ”masalah klasik nan aktual”. Tidak sebatas Ilmuan Indonesia saja yang menyatakannya demikian, begitu pula pernyataan seorang orientalis Belanda (Snouck Hurgronje), dalam suratnya kepada Gubernur Jenderalnya;

“Tak usah heran jika di negeri ini hampir setiap tahun timbul perbedaan tentang awal dan akhir puasa. Bahkan terkadang perbedaan itu terjadi antara kampung-kampung yang berdekatan.”[2]

Tidak sedikit sumber yang menyebabkan lahirnya perbedaan. Salah satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah akibat ulah manusia yang memang tidak bisa dipaksakan sama. Sebagaimana yang nampak sejak skala mikroskopis sampai pada skala kosmos.

Selain itu, Penentuan awal bulan Qomariyah sangatlah penting terutama bagi kaum muslimin, karena masalah ini menyangkut masalah “ wajib ‘ain “ bagi umat Islam, yaitu kewajiban menjalankan ibadah puasa dan haji.

Terlepas dari semua bentuk sebab perbedaan diatas, akar dari lahirnya perbedaan dalam penentuan awal bulan Qomariyah khususnya bulan-bulan yang di dalamnya terdapat kewajiban ibadah mahdhoh, akan dibahas pada makalah ini.

I. Ditela’ah dari konsep rukyah

Untuk menelaah lebih lanjut tentang perbedaan- perbedaan penentuan awal bulan dipandang dari segi mazhab rukyah, maka terlebih dahulu kita mengetahui pengertian rukyah itu sendiri. Menurut bahasa rukyah berasal dari kata, Ra’a-yaraa-rukyatan. Yang berarti melihat, mengerti, menyangka, menduga, dan mengira atau perceive (merasa), notice, observe (memperhatikan/melihat) dan discern / to behold (melihat).[3]

Sedangkan rukyah menurut istilah adalah melihat hilal pada saat matahari terbenam tanggal 29 Qomariyah. Jadi, jika rukyah sudah berhasil dilihat maka sejak matahari terbenam itu sudah dihitung bulan baru, tetapi sebaliknya bila belum dapat dilihat, maka sejak matahari terbenam itu sudah dihitung bulan baru, kalau tidak terlihat, maka malam itu dan keesokkan harinya masih merupakan bulan yang berjalan dengan digenapkan (diistikmalkan) menjadi 30 hari.

II. Dasar-dasar Hukum yang menimbulkan perbedaan dalam Penentuan Awal Bulan Qomariah :

a) Dari Al-Qur’an

· شهر رمضان الذي أنزل فيه القرأن هدى للناس وبينات من الهدى والفرقان فمن شهد منكم الشهر فليصمه.

Artinya :”Bulan Ramadhan itu adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan sebagai pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa diantara kamu ada pada bulan itu, maka berpuasalah.(Q.S. Al-Baqarah : 185)”[4]

Berdasarkan pada penggalan ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa :

Pertama, untuk bisa menghisab jatuhnya tanggal satu bulan Qomariyah harus dilakukan adalah menempatkan matahari pada posisi terbenam, lalu ditentukan posisi bulan, apakah sudah berkedudukan di atas ufuk atau masih di bawahnya. Apabila sudah berkedudukan di atas ufuk, berarti sudah berada di sebelah timur garis-garis ufuk dan sekaligus di sebelah timur matahari.

Kedua hisab dalam awal bulan Qomariah yang harus dilakukan bukanlah menentukan tinggi bulan di atas ufuk mar’i, tetapi yang penting adalah meyakini apakah pada pertukaran siang kepada malam, bulan sudah berkedudukan di sebelah timur matahari ataukah belum.[5]

· يسألو نك عن الأهله قل هي مواقيت للناس والحج وليس البر بأن تأتوا البيوت من ظهورها ولكن البر من التقى وأتوا البيوت من أبوابهاوالتقوا الله لعلكم تفلحون.

Artinya :”Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah penunjuk bagi manusia dan (ibadah) haji dan bukanlah kebajikan itu memasuki rumah-rumah dari belakangnya.[6] Akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan bertaqwa. Dan masuklah kerumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Q.S. Al-Baqarah: 189)”[7]

b) Dari Hadis

· حدثني حميد بن مسعدة الباهلى حدثنا بشر بن مفضل حدثنا سلمة (وهو إبن علقمة) عن نافع عن عبد الله ابن عمر قال: قال وسول الله صلى الله عليه وسلم: الشهر تسع وعشرون فإذا رأيتموا الهلال فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا, فإن غم عليكم فاقدرواله.[8]

Artinya :”Humaid bin Mas’adah Al-Bahily bercerita kepadaku : Bisr bin Mufadhal bercerita kepada kami : Salamah bin Al-Qamah bercerita kepada kami, dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar, Ia berkata : Saya mendengar Rasulullah bersabda :”(jumlah bilangan) bulan ada 29 (hari). Apabila kalian melihat hilal, maka berpuasalah, dan apabila kalian melihat hilal maka berbukalah. Namun apabila kalian terhalangi (oleh mendung) maka kadarkanlah.” (HR. Muslim)

· حدثنا يحي بن يحي قال: قرأت على مالك عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم . أنه ذكر رمضان فقال: لاتصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه, فإن أغمى عليكم فاقدرواله . (رواه مسلم)[9]

Artinya :”Yahya bin Yahya bercerita kepada kami, ia berkata : Aku berkata kepada Malik dari Nafi’, dari Ibnu Umar dari Nabi SAW. Bahwa beliau menyebutkan Ramadhan seraya bersabda :”Janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal, dan janganlah kalian berhenti puasa hingga melihatnya. Jika kalian terhalangi (oleh mendung) maka tetapkanlah (hingga Sya’ban) untuknya.”(HR. Muslim)

Ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata “Faqduru᷈ lahu” sebagian ulama termasuk Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa lafadz “Faqduru᷈ lahu” memiliki makna “sempitkanlah dan kira-kirakanlah keberadaan bulan ada di bawah awan.” Ibnu Suraij dan beberapa ulama antara lainnya terdiri dari Muhtraf bin Abdullah dan Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa makna “Faqduru᷈ lahu” adalah “kira-kirakanlah dengan melakukan perhitungan terhadap manazil (posisi atau orbit bulan). Sedangkan Imam Malik, Syafi’i, Abu Hanifah, beserta jumhur ulama, berpendapat bahwa lafadz “Faqduru᷈ lahu” mempunyai arti “kira-kirakanlah dengan menyempurnakan jumlah hari pada bulan Sya’ban menjadi 30 hari.”[10]

· حدثنا يحي بن يحي أخبرنا إبرهيم بن سعد عن ابن شهاب عن سعيد بن المسيب عن أبي هريرة رضي الله عنه, قال: قال وسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا رأيتموا الهلال فصوموا وإذا رأيتمواه فأفطروا, فإن غم عليكم فصوموا ثلاثين يوما . (رواه مسلم)[11]

Artinya :”Yahya bin Yahya bercerita kepada kami: Ibrahim bin Sa’ad memberi kabar kepada kami: dari Ibnu Syihab, dari Sa’id bin Musayyab, dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah bersabda :“Apabila kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya (hilal) maka berbukalah. Namun apabila kalian terhalangi (oleh mendung), maka berpuasalah selama 30 hari.” (HR. Muslim)

Jadi, menurut pemakalah sendiri dalam pemaknaan lafadz “Faqduru᷈ lahu” adalah menggabungkan antara hasil pemikiran Ibnu Suraij dengan hasil pemikiran jumhur ulama’. yakni, dengan melakukan perhitungan terlebih dahulu terhadap manazil (orbit bulan), tapi jika hasil dari perhitungan tersebut tidak memadai, maka hasil pendapat kedua(jumhur ulama’) patut kita gunakan.

III. Pembagian Rukyah al-hilal

Secara garis besar Rukyah al-hilal dapat dikategorikan menjadi 2 :

1. Rukyah al-hilal bil Fi’li (secara visual)

Yaitu usaha melihat hilal dengan mata biasa dan dilakukan secara langsung atau dengan menggunakan alat, yang dilakukan setiap akhir bulan Qomariyah (tanggal 29) di sebelah barat ketika matahari terbenam. Jika hilal berhasil dilihat, maka sejak malam itu sudah dihitung tanggal baru bulan baru. Sebaliknya, jika tidak berhasil dilihat maka malam dan keesokkan harinya masih merupakan bulan yang sedang berjalan, sehingga umur bulan tersebut digenapkan 30 hari. Tetapi perlu diketahui, bahwa sistem rukyat ini hanya bisa dilakukan untuk kepentingan pelaksanaan ibadah, dan tidak bisa diaplikasikan untuk menyusun kalender. Sebab penyusunan kalender harus diperhitungkan jauh sebelumnya dan tidak tergantung pada hasil rukyat.

1.A. Perbedaan Ulama tentang Rukyah al-hilal bil Fi’li (secara visual)

Terdapat dua perbedaan pemahaman mengenai rukyah al-hilal yang seringkali terjadi :[12]

a) Pemahaman mathla’

Pertama, ada pendapat yang menyatakan bahwa hasil rukyah di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. Hal ini memakai argumentasi bahwa kitab dari hadis-hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan rukyah, ditujukan kepada seluruh umat Islam di dunia tanpa membedakan letak geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. Kelompok ini menggunakan mathla’ global atau universal.

Pendapat lain menyatakan, bahwa hasil rukyah di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu daerah, kekuasaan hakim yang menetapkan atau memberi keputusan atas hasil rukyah tersebut. Pemikiran ini terkenal dengan Rukyah fi al-wilayah al-hukmi.

Bahkan selain itu ada juga pendapat yang hanya memberlakukan rukyah sebatas pada daerah yang dianggap memang memungkinkan adanya rukyah tersebut. Namun pendapat ini jarang sekali diikuti.

Dari ketiga perbedaan diatas, setidaknya kita bisa mencoba memodifikasikannya dengan memberlakukan mathla’ wilayah al-hukmi pada suatu tempat dan waktu tertentu, dan sebaliknya, memberlakukan mathla’ global secara kondisional sesuai tempat-tempat tertentu pula.

b) Pemahaman ‘Adil

Penilaian ‘adil’ seseorang dalam hal melihat hilal sangat berkaitan dengan perhitungan hisab dimana rukyat itu dilakukan. Sebagaimana kasus dalam tiga kali berturut-turut yakni : 1 Syawal 1412, 1413, dan 1414 H. yang pada saat itu terjadi laporan kesaksian melihat hilal, padahal hilal masih berada di bawah ufuk, sehingga laporan tersebut tidak diterima. Hal ini menyatakan bahwa rukyah merupakan tindakan pembuktian atas hisab karena pada dasarnya baik hisab maupun rukyah tidak dapat ditinggalkan salah satunya.

Kewajiban rukyah al-hilal secara visual ini dibebankan hanya kepada sebagian muslim. Jika sudah ada orang yang sudah berusaha untuk melihat hilal, maka kewajiban bagi muslim lain secara otomatis telah gugur, atau dengan kata lain, hokum melakukan rukyah al-hilal bi al-fi’li adalah fardhu kifayah.

Terdapat dua pendapat batas minimal kesaksian dalam rukyah al-hilal :[13]

Pertama :Ketika rukyah al-hilal digunakan dalam penentuan awal bulan Ramadhan, maka kesaksian seorang yang adil sudah dapat diterima. Sedangkan

Kedua :Ketika rukyah al-hilal dipakai untuk menentukan awal bulan Syawal (Idul Fitri), maka kesaksian yang hanya berasal dari seorang yang adil belum bisa diterima. Setidaknya dibutuhkan dua orang saksi yang adil dalam masalah ini.

2. Rukyah al-hilal bil Ilmi (menggunakan ilmu pengetahuan)

Yaitu menggunakan metode hisab. Sebelum kita jauh menelaah tentang metode hisab ini, maka alangkah baiknya terlebih dahulu kita mengetahui pengertian hisab tersebut.

Hisab menurut bahasa berarti, Hitungan, arithmetic (ilmu hitung), reckoning (perhitungan), calculus (hitung), computation (perhitungan), estimation (penilaian) dan appraisal (penaksiran).[14] Jadi, ilmu hisab adalah suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan. Sedangkan hisab menurut istilah adalah perhitungan benda-benda langit untuk mengetahui kedudukannya pada suatu saat yang diinginkan. Metode hisab sendiri dibagi menjadi dua.[15]

a. Hisab ‘Urfi

Hisab ‘urfi adalah sistem perhitungan penanggalan yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Sistem hisab ini dimulai sejak tahun 17 Hijriyah, oleh khalifah Umar sebagai acuan untuk menyusun kalender Islam abadi.[16] Para ulama dikalangan umat Islam sepakat bahwa hisab ‘urfi tidak dapat digunakan dalam pentuan awal bulan Qomariyah dan untuk pelaksanaan ibadah, kecuali untuk pembuatan kalender. Sedangkan

b. Hisab Haqiqi

Hisab haqiqi adalah perhitungan yang sesungguhnya dan seakurat mungkin terhadap peredaran bulan mengelilingi bumi, dengan menggunakan kaidah ilmu ukur segi tiga bola (spherical trigonometri). Jumlah hari dalam tiap bulannya tidak tetap dan tidak beraturan, terkadang dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari, terkadang pula bergantian seperti perhitungan hisab ‘urfi. Sistem hisab haqiqi ini juga diklasifikasikan menjadi 3 bagian :

b.1. Hisab Haqiqi Taqribi

Sistem hisab ini bersumber dari data yang telah disusun oleh Ulugh Beik Al-Samarqhandi (wafat: 1420 M.) yang biasa dikenal dengan nama “Zeij Ulugh Beyk”. Adapun pengamatan yang digunakannya berasal dari teori Claudius Ptolomeus (geosentris), yakni teori yang menyatakan bahwa bumi adalah pusat peredaran benda-benda langit. Salah satu kelebihan teori ini adalah data-data dan tabel-tabelnya dapat digunakan secara terus menerus tanpa harus dirubah. Beberapa contoh kitab yang masih komitmen menggunakan system hisab haqiqi taqribi diantaranya : Sullam al-Nayirain,Tadzkirah al-Ikhwan, Risalah al-Qomarain, dan Qawaid al-Falakiyah.

b.2. Hisab Haqiqi Tahqiqi

Sistem perhitungan hisab ini didasarkan pada data astronomi yang telah disusun oleh syeikh Husein Zaid Alauddin Ibnu Syatir.[17]Pengamatannya didasarkan pada teori Nicolas Copernicus, yakni teori Heliosentris yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat peredaran benda-benda langit. Perhitungannya dengan menggunakan rumus Spherical Trigonometri dengan koreksi data gerakan bulan maupun matahari yang dilakukan dengan teliti dan membutuhkan bantuan alat hitung elektronik berupa kalkulator, computer, dan daftar logaritma. Kitab-kitab yang menggunakan system ini diantaranya : al-Khalashah al-Wafiyah, dan Hisab Haqiqi Nur Anwar.

b.3. Hisab Haqiqi Tathqiqi (Kontemporer)

Dasar perhitungan sistem hisab ini menggunakan data-data astronomi modern dan merupakan pengembangan dari sistem hisab haqiqi tahqiqi yang digabungkan dengan ilmu astronomi modern. Dengan cara memperluas dan menambahkan koreksi gerak bulan dan matahari dengan spherical trigonometri, sehingga diperoleh data yang sangat teliti dan akurat. Jadi, selain alat hitung elektronik, system ini juga menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui koordinat lintang dan bujur. Beberapa buku yang berpedoman pada system ini diantaranya : Newcomb, Jean Meuus, Almanak nautika, dan The American Ephemeris.

Hadits-hadits hisab rukyah mengandung sepuluh interpretasi yang beragam, yang semuanya merupakan akar dari lahirnya aliran dan mazhab dalam penetapan awal bulan Qomariyah, di antaranya:

a) Perintah berpuasa berlaku atas semua orang yang melihat hilal dan tidak berlaku atas orang yang tidak melihatnya.

b) Melihat di sini melalui mata. Karenanya ia tidak berlaku atas orang buta (matanya tidak berfungsi).

c) Melihat (rukyah) secara ilmu bernilai mutawatir dan merupakan berita dari orang yang adil.

d) Nash tersebut mengandung juga makna zhan sehingga mencakup ramalan dalam nujum (astronomi).

e) Ada tuntutan puasa secara kontinu jika terhalang pandangan atas hilal manakala sudah ada kepastian hilal sudah dapat dilihat.

f) Ada kemungkinan hilal sudah wujud sehingga wajib puasa, walaupun menurut ahli astronomi belum ada kemungkinan hilal dapat dilihat.

g) Perintah hadits tersebut ditujukan kepada kaum muslimin secara menyeluruh. Namun pelaksanaan rukyah tidak diwajibkan kepada seluruhnya bahkan mungkin hanya perseorangan.

h) Hadits ini mengandung makna berbuka puasa.

i) Rukyah itu berlaku pada hilal bulan Ramadlan dalam kewajiban berpuasa, tidak untuk ifthornya (berbuka).

j) Yang menutup pandangan hanya oleh mendung bukan selainnya.[18]

IV. Perbedaan dalam Ijtima’

Ijtima’ kumpul atau bersama, yaitu posisi matahari dan bulan berada pada satu bujur yang sama (conjuntion) bila dilihat dari arah timur maupun barat. Para astronom murni menggunakan ijtima’ ini sebagai pergantian bulan Qomariyah, sehingga ia juga biasa disebut dengan istilah new moon.[19]Adapun ijtima’ ini terdiri menjadi 2 antara lain :

1. Ijtima’ semata

Paham ini menetapkan bahwa awal bulan Qomariyah mulai masuk ketika terjadinya ijtima’. Bertemunya dua benda yang bersinar (matahari dan planet) merupakan pemisah diantara dua bulan. Kriteria awal bulan yang ditetapkan oleh aliran ijtima’ semata ini sama sekali tidak memperhatikan rukyat. Dengan artian tidak mempermasalahkan hilal dapat dilihat atau tidak, karena aliran ini semata-mata hanya berpegang pada astronomi murni.[20]

Ketika menentukan awal bulan Qomariyah, aliran ini biasanya memadukan saat-saat ijtima’ tersebut dengan fenomena alam lain, sehingga kriteria tersebut menjadi berkembang dan akomodatif. Fenomena alam yang dihubungkan dengan saat ijtima’ tersebut tidak hanya satu, sehingga aliran ijtima’ ini terbagi lagi dalam sub-sub aliran yang lebih kecil, yaitu ; Ijtima’ qabla al-ghurub, Ijtima’ qabla al-fajar, Ijtima’ dan terbit matahari, Ijtima’ dan tengah hari, Ijtima’dan tengah malam.[21]

2. Ijtima’ dan posisi hilal di atas Ufuk

Aliran ini mengatakan bahwa, awal bulan Qomariyah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan hilal pada saat itu sudah berada di atas ufuk. Jadi, kriteria umum aliran ini adalah :

i. Awal bulan Qomariah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terbenam matahari setelah terjadi ijtima’.

Hilal sudah berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam

Aliran ini hampir mirip dengan aliran ijtima’ qabla al-ghurub namun perbedaanya, aliran ijtima’ qabla al-ghurub tidak memperhatikan posisi hilal di atas ufuk pada saat terbenam matahari. Sedangkan aliran ini selalu memperhatikan kedudukan hilal di atas ufuk. Dengan kata lain, walaupun ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari, pada saat terbenam matahari tersebut belum dapat dikatakan awal bulan Qamariyah sebelum diketahui posisi hilal di atas ufuk pada saat terbenam matahari.[22]Aliran ini terbagi menjadi tiga cabang, antara lain : Ijtima’ dan ufuk haqiqi, Ijtima’ dan ufuk hissi, Ijtima’ dan imkan al-Rukyat.

Penutup

Demikianlah uraian global tentang berbedaan-perbedaan penentuan awal bulan Qomariyah, yang dapat kami sampaikan pada makalah ini, walau kami sadar bahwa hal ini akan semakin bertambah seiring perkembangan zaman, selaku penulis, kami mengharap kritik dan saran dari para pembaca yang budiman, untuk membenahi kesalahan yang kami lakukan sebagai kaca perbandingan agar kedepannya menjadi lebih baik. “manusia merupakan tempat salah dan lupa”, karena semua kebaikan datangnya dari Allah, maka kami meminta maaf khususnya kepada dosen pengampu, dan umumnya kepada para pembaca. Akhirnya, kami berharap makalah ini bermanfaat dunia-akhirat.

Daftar Pustaka

Azhari, Susiknan. Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002

Dahlan, Abdul Azis. Ensiklopedi Hukum Islam Cet.I, Jakarta : PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan terjemahnya, Semarang : PT Karya Toha Putra, 2002

Hajjaj, Muslim bin, Shahih Muslim, Juz 2. Beirut : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1992

Izzuddin, Ahmad. Fiqih Hisab Rukyah, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2007

Khazin, Muhyiddin. Kamus Ilmu Falak. Yogyakarta : Busana Pustaka, 2005

Maskufa. Ilmu Falaq, Jakarta : GP press, 2009

Murtadho, Moh. Ilmu Falak Praktis. Malang : UIN-Malang Press, 2008

Qutub, Sayyid. Fi dhilali al-Qur’an jilid I, Mesir : Darul Syuruk, 1998/1417 H.

Saksono, Tono. Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, Jakarta : Amythas Publicita, 2007

Shiddiqi, Nourouzaman. Jeram-Jeram Peradaban Muslim, Cet.I, Yogyakarta : Pustaka Pelajar 1996

Syarof Annawawi, Yahya bin. Shahih Muslim bi Syarhi Al-Nawawy, Beirut : Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah, 1995

Diposkan oleh Ahmad Zaenury di 00:54


PENENTUAN AWAL BULAN QOMARIYYAH

ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.)


Beberapa tahun terakhir, kaum muslimin di Indonesia mengalami perbedaan dalam menentukan awal Ramadhan. Akibatnya, umat yang awam banyak dibuat bingung. Yang lebih buruk, perbedaan tersebut bisa memicu perpecahan di antara kaum muslimin. Bagaimana sebenarnya tuntunan syariat dalam menentukan awal bulan Hijriyah, lebih khusus Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah?

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara yang dibenarkan syariat untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yah inderawi, yaitu melihat hilal dengan menggunakan mata. Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya hilal? Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Lantas apakah masing-masing daerah berpegang dengan mathla’ (tempat waktu muncul)nya sendiri, ataukah jika terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti?

Di sini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam pertanyaan di atas. Sedangkan pendapat ketiga menyatakan bahwa yang wajib mengikuti ru’yah tersebut adalah daerah yang satu mathla’ dengannya.

Dari ketiga pendapat itu, tampaknya yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa jika hilal di satu daerah terlihat maka seluruh dunia harus mengikutinya. Perbedaan mathla’ adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dimungkiri. Namun yang menjadi masalah, apakah perbedaan tersebut berpengaruh dalam hukum atau tidak? Menurut mazhab yang kuat, perbedaan tersebut tidak dianggap.

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz t menjelaskan masalah ini ketika ditanya: Apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda?

Beliau menjawab: Yang benar adalah bersandar pada ru’yah dan mengabaikan adanya perbedaan mathla’, karena Nabi n memerintahkan untuk bersandar dengan ru’yah dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi n tidak mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu. (Tuhfatul Ikhwan, hlm. 163)

Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi n bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi n menerimanya, padahal ia berasal dari daerah lain. Nabi n juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103)

Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji zaman dahulu, yang seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103—105)

Karena perbedaan mathla’ diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu daerah berarti daerah-daerah lain wajib mengikuti, selama mereka mendapatkan berita tersebut dari sumber yang bisa dipercaya.

Dijelaskan oleh asy-Syaikh al-Albani t bahwa ini adalah mazhab jumhur ulama. Beliau berkata, “Banyak ulama ahli tahqiq (peneliti) telah memilih mazhab jumhur ini. Di antara mereka adalah Ibnu Taimiyah t sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (juz 25), asy-Syaukani t dalam Nailul Authar, Shiddiq Hasan Khan t dalam ar-Raudhatun Nadiyyah, dan selain mereka. Itulah yang benar, tiada yang benar selainnya. Ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas c (yang menjelaskan bahwa ketika penduduk Madinah diberitahu bahwa penduduk Syam melihat hilal lebih dulu dari mereka, Ibnu ‘Abbas z tetap memakai ru’yah penduduk Madinah hingga puasa 30 hari atau hingga melihat hilal, red.) karena beberapa alasan yang telah disebut oleh asy-Syaukani.

Mungkin alasan yang paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas z datang dalam perkara orang yang berpuasa sesuai dengan ru’yah yang ada di daerahnya, kemudian di tengah-tengah bulan Ramadhan sampai kepada mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain telah melihat hilal sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini, ia terus melakukan puasa bersama orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal sendiri. Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah (problem) dalam hadits itu. Sedangkan hadits Abu Hurairah z yang berbunyi:

صُومُوا لِرُأْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُأْيَتِهِ

“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya.” (Muttafaqun ‘alaihi, lihat takhrijnya dalam al-Irwa’, no. 902 –red.)

dan yang lainnya, berlaku sesuai dengan keumumannya. Hadits tersebut mencakup semua orang yang mendapat berita tentang adanya hilal dari negara atau daerah mana saja tanpa ada pembatas jarak sama sekali, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah t dalam Majmu’ Fatawa (25/107).

Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di zaman kita ini. Hanya saja memang dibutuhkan ‘kepedulian’ dari negara-negara Islam sehingga dapat mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah l.

Selama belum bersatunya negara-negara Islam, maka saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negara harus puasa bersama negara (pemerintah) dan tidak memisahkan diri, sehingga sebagian orang berpuasa bersama pemerintah dan sebagian lain bersama yang lainnya, baik mendahului puasa atau lebih akhir. Karena hal ini bisa mempertajam perselisihan dalam masyarakat sebagaimana terjadi pada sebagian negara-negara Arab sejak beberapa tahun lalu. Wallahul musta’an.” (Tamamul Minnah, hlm. 398)

Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya, walaupun berdasarkan ru’yah?

Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa ketentuan itu (memulai dan mengakhiri puasa) adalah wewenang pemerintah atau pihak yang diserahi masalah ini. Hal itu sebagaimana dikatakan al-Hasan al-Bashri t dalam masalah pemerintah, “Mereka mengurusi lima urusan kita: shalat Jum’at, shalat jamaah, ‘Ied, perbatasan, dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka, walaupun mereka zalim dan licik. Demi Allah, sungguh apa yang Allah l perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak….” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 7—8)

Hal yang serupa dinyatakan juga oleh as-Sindi dan al-Albani sebagaimana akan tampak dalam penjelasan berikut. Jadi ini bukan tugas/urusan individu atau kelompok, tapi ini adalah urusan pemerintah. Asy-Syaikh al-Albani t menyebutkan sebuah hadits dalam Silsilah as-Shahihah (1/440):

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya kalian, dan ‘Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi dari Abu Hurairah z, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam ash-Shahihah, no. 224)

Beliau melanjutkan menerangkan hadits itu, katanya, “At-Tirmidzi t berkata setelah menyebutkan hadits itu, ‘Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini bahwa maknanya adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah dan kebanyakan manusia’.”

Ash-Shan’ani t berkata dalam Subulus Salam (2/72), “Di dalamnya terdapat dalil agar menganggap ketetapan ‘Ied itu bersamaan dengan manusia (masyarakat), dan bahwa yang menyendiri dalam mengetahui hari ‘Ied dengan melihat hilal maka ia wajib menyesuaikan diri dengan manusia. Wajib baginya (mengikuti) hukum mereka dalam hal shalat, berbuka, dan menyembelih (‘Iedul Adha).”

Ibnul Qayyim t menyebutkan hal yang semakna dengannya dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (3/214). Katanya, “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan atas orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan dengan hisab boleh puasa sendirian di luar mereka yang belum tahu. Dikatakan pula, sesungguhnya jika satu orang saksi melihat hilal dan hakim belum menerima persaksiannya, maka hari tersebut tidak menjadi hari puasa baginya sebagaimana tidak menjadi hari puasa bagi manusia (yang lain).”

Abul Hasan as-Sindi t mengatakan dalam catatan kakinya terhadap Sunan Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah z riwayat at-Tirmidzi, “Tampaknya, perkara-perkara ini tidak ada celah bagi individu-individu untuk terlibat di dalamnya. Tidak bisa mereka menyendiri dalam masalah tersebut. Bahkan perkara itu diserahkan kepada pemimpin dan jamaah masyarakat. Wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemimpin dan jamaah masyarakat. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal lalu imam/pimpinan menolak persaksiannya, maka mestinya ia tidak menetapkan sesuatu bagi dirinya sesuatu pun dari perkara ini. Wajib pula baginya untuk mengikuti jamaah masyarakat.”

Saya (al-Albani) katakan, “Makna inilah yang langsung dipahami dalam hadits. Hal ini didukung oleh perbuatan ‘Aisyah x yang berhujjah dengannya kepada Masruq ketika ia (Masruq) tidak mau puasa Arafah karena khawatir ternyata itu hari nahr (10 Dzulhijjah, yakni hari raya). Maka ‘Aisyah terangkan bahwa pendapatnya itu tidak bisa dianggap dan wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia. Lalu ‘Aisyah x berkata,

النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُ النَّاسُ

“Hari nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan ‘Iedul Fithri adalah ketika orang-orang berbuka.” (Mushannaf Abdurrazzaq, 4/157)

Saya katakan (al-Albani), “Inilah yang sesuai dengan syariat yang toleran, yang di antara tujuannya adalah menyatukan manusia dan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari pendapat-pendapat pribadi yang mencerai-beraikan kesatuan mereka. Syariat tidak menganggap pendapat pribadi—walaupun itu benar dari sisi pandangnya—dalam ibadah yang sifatnya berjamaah seperti puasa, ‘Ied, dan shalat berjamaah.

Tidakkah engkau melihat bahwa para sahabat shalat di belakang yang lain, padahal di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, kemaluan, dan keluarnya darah membatalkan wudhu. Di antara mereka juga ada yang tidak berpendapat demikian.

Di antara mereka ada yang melakukan shalat 4 rakaat dalam safar dan di antaranya juga ada yang 2 rakaat. Namun, perbedaan ini dan yang lain, tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama dalam melakukan shalat di belakang satu imam dan menganggap shalat itu sah.

Hal itu karena mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek daripada perbedaan dalam sebagian pendapat. Maka hendaknya mereka memerhatikan hadits ini dan riwayat yang disebutkan. Yaitu mereka yang mengaku-aku mengetahui ilmu falak (hisab), yang memulai puasa sendiri dan berbuka sendiri, mendahului atau membelakangi mayoritas muslimin dengan bersandar pada pendapat dan ilmunya tanpa peduli manakala keluar dari jamaah.

Hendaknya mereka semua memerhatikan ilmu yang kami sebutkan ini. Barangkali mereka akan mendapatkan obat dari kebodohan dan kesombongan yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadi satu shaf bersama kaum muslimin, karena sesungguhnya tangan Allah l bersama jamaah.” (Silsilah ash-Shahihah, 1/443—445, lihat pula anjuran beliau yang telah disebut dalam Tamamul Minnah hlm. 398)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t ditanya:

Seseorang melihat hilal sendirian dan benar-benar melihatnya, apakah dia boleh berbuka dan berpuasa sendirian atau bersama kebanyakan manusia?

Beliau menjawab:

Alhamdulillah. Jika dia melihat hilal untuk berpuasa atau berbuka sendirian, apakah ia berkewajiban untuk berpuasa dengan ru’yah-nya dan berbuka dengan ru’yah sendiri, atau tidak puasa serta berbuka kecuali bersama manusia?

Dalam hal ini ada tiga pendapat dan tiga riwayat dari al-Imam Ahmad:

1. Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi. Ini adalah mazhab asy-Syafi’i t juga.

2. (Mulai) berpuasa sendiri dan tidak berbuka kecuali bersama manusia. Ini yang masyhur dari pendapat Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah rahimahumullah.

3. Berpuasa dan berbuka juga bersama manusia.

Yang ketiga adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan sabda Nabi n:

صَوْمُكُمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha-nya kalian adalah tatkala kalian menyembelih.” Riwayat at-Tirmidzi dan beliau katakan hasan gharib. Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ia menyebutkan buka dan ‘Iedul Adha saja. (Hadits ini disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Silsilah ash-Shahihah, no. 224)

At-Tirmidzi t juga meriwayatkan dari Abu Hurairah z bahwa Rasulullah n bersabda, “Puasa adalah pada hari kalian berpuasa, berbuka adalah hari ketika kalian berbuka, dan ‘Iedul Adha adalah hari ketika kalian menyembelih.” (at-Tirmidzi mengatakan bahwa [hadits ini] hasan gharib)

Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini dengan perkataan, “Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah manusia dan kebanyakan manusia.”

Abu Dawud t meriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah z:

“Berbukanya kalian adalah hari tatkala kalian berbuka dan Adha-nya kalian adalah hari kalian menyembelih. Seluruh tanah Arafah adalah tempat wuquf, seluruh tanah Mina adalah tempat menyembelih, seluruh gang Makkah adalah tempat menyembelih, dan seluruh tanah jam’ (Muzdalifah) adalah tempat wuquf.” (Disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2324)

Asal permasalahan ini yaitu bahwa Allah l mengaitkan hukum-hukum syar’i seperti hukum puasa, berbuka, dan menyembelih, dengan nama hilal (bulan sabit) dan syahr (bulan). Allah l berfirman:

ﮮ ﮯ ﮰﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗﯘ

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah itu waktu-waktu untuk manusia dan untuk (ibadah) haji.” (al-Baqarah: 189)

Allah l terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji. Allah l berfirman:

ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ

“Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Baqarah: 183—184)

Allah l wajibkan puasa bulan Ramadhan dan ini disepakati kaum muslimin. Yang diperselisihkan manusia adalah apakah hilal itu sebutan untuk sesuatu yang muncul di langit walaupun manusia tidak mengetahuinya, yang dengan itu berarti telah masuk bulan (baru), ataukah hilal itu merupakan sebutan untuk sesuatu yang manusia mengeraskan suaranya (maksudnya mengumumkannya sehingga diketahui oleh banyak orang), dan makna syahr adalah yang tersohor/terkenal di antara manusia. Dalam masalah ini ada dua pendapat:

Orang yang berpendapat dengan pendapat pertama mengatakan bahwa barang siapa melihat hilal sendirian, berarti dia telah masuk waktu puasa dan bulan Ramadhan telah berlaku atas dirinya. Malam itu termasuk malam Ramadhan walaupun yang lainnya belum mengetahui. Orang yang tidak melihatnya dan kemudian mengetahui bahwa ternyata hilal sudah muncul, berarti ia harus mengqadha puasa. Begitu pula—menurut qiyas—pada bulan berbuka (Syawwal) dan pada bulan menyembelih (‘Iedul Adha). Namun pada bulan penyembelihan, saya (Ibnu Taimiyah) tidak mengetahui ada yang mengatakan bahwa barang siapa melihat hilal (lebih dahulu) berarti melakukan wuquf sendirian tidak bersama jamaah haji yang lain, lalu hari setelahnya menyembelih, melempar jumrah ‘aqabah dan ber-tahallul, tidak bersama jamaah haji yang lain.

Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah berbuka. Kebanyakan ulama menyamakannya dengan (masalah) menyembelih dan mengatakan tidak boleh berbuka kecuali bersama kaum muslimin yang lain. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa memulai berbuka sama dengan memulai puasa. Bersilangnya pendapat-pendapat ini menunjukkan bahwa yang benar adalah berbuka itu seperti masalah menyembelih pada bulan Dzulhijjah (maksudnya tidak boleh menyendiri).

Atas dasar itu, maka syarat hilal dan syahr adalah masyhurnya (diketahui secara umum) di antara manusia dan pengumuman manusia tentangnya. Sehingga walaupun yang melihatnya sepuluh orang tapi tidak dikenal di antara manusia di daerah itu, karena persaksian mereka ditolak, atau karena mereka tidak mempersaksikan, maka hukum mereka seperti hukum seluruh muslimin (yang lain). Sehingga mereka tidak wuquf, tidak menyembelih qurban, dan tidak shalat ‘Ied kecuali bersama muslimin. Demikian juga tidak berpuasa kecuali bersama muslimin. Inilah makna ucapan Nabi n:

صَوْمُكمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha-nya kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”

Oleh karena itu, al-Imam Ahmad t mengatakan dalam riwayatnya, “Berpuasa bersama imam (pemerintah) dan jamaah muslimin, baik dalam keadaan udara cerah maupun mendung.” Beliau juga mengatakan, “Tangan Allah l bersama al-Jamaah.”

Atas dasar ini, muncullah perbedaan hukum awal bulan: Apakah itu berarti (awal) bulan bagi penduduk negeri seluruhnya atau bukan. Allah l menerangkan yang demikian itu dalam firman-Nya:

ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩﮪ

“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan hendaknya ia berpuasa padanya.” (al-Baqarah: 185)

Allah l hanyalah memerintahkan untuk berpuasa bagi yang menyaksikan bulan (waktu/syahr). Menyaksikan itu tidak bisa dilakukan kecuali pada bulan yang telah diketahui umum (sebagaimana keterangan makna syahr yang telah lalu) di antara manusia, sehingga bisa tergambarkan bagaimana menyaksikannya atau bagaimana tidak menyaksikannya.

Sabda Nabi n, “Jika kalian melihatnya maka puasalah padanya dan jika kalian melihatnya maka berbukalah padanya, serta puasalah dari rembulan kepada rembulan.”

Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah manusia. Namun siapa saja yang berada di suatu tempat yang tidak ada orang selain dirinya, jika dia melihat hilal maka hendaknya ia berpuasa, karena di sana tidak ada orang selainnya. Atas dasar ini, seandainya ia tidak berpuasa lalu ia mengetahui dengan jelas bahwa hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di pertengahan siang, maka ia tidak wajib mengqadhanya. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari al-Imam Ahmad t.

(Alasannya), karena awal bulan baru dianggap masuk pada mereka sejak tersebar (bila belum tersebar maka artinya belum masuk, red.). Saat itu wajib baginya menahan diri (dari segala yang membatalkan puasa) seperti pada kejadian ‘Asyura yang diperintahkan puasa di tengah hari dan tidak diperintah untuk mengqadhanya menurut mazhab yang sahih. Hadits mengenai qadha dalam hal ini adalah hadits yang lemah. Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 25/114—118)

Bagaimana jika penguasa menolak persaksian sekelompok orang dalam melihat hilal tanpa alasan yang syar’i, karena alasan politis atau yang lain. Apakah kita mengikutinya atau mengikuti ru’yah hilal walaupun tidak diakui pemerintah?

Ibnu Taimiyah t menjawab dalam Majmu’ Fatawa (25/202—208). Ketika beliau ditanya tentang penduduk suatu kota yang melihat hilal Dzulhijjah, akan tetapi tidak dianggap oleh penguasa negeri itu, apakah boleh mereka berpuasa yang tampaknya tanggal 9 padahal hakikatnya adalah tanggal 10?

Beliau menjawab: Ya, mereka berpuasa pada tanggal 9 (yakni hari Arafah) yang tampak dan yang diketahui jamaah manusia, walaupun pada hakikatnya tanggal 10 (yakni ‘Iedul Adha) meski seandainya ru’yah itu benar-benar ada. Berdasarkan dalam kitab-kitab Sunan dari sahabat Abu Hurairah z dari Nabi n bahwasanya beliau berkata,

صَوْمُكمْ يَوْمَ تَصُومُونَ وَفِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ

“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha-nya kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dan beliau mensahihkannya)

Dari ‘Aisyah x ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda, “Berbuka adalah ketika manusia berbuka dan Iedul Adha adalah ketika manusia menyembelih.” (HR. at-Tirmidzi, dan beliau katakan bahwa ini yang diamalkan menurut para imam kaum muslimin seluruhnya)

Seandainya manusia melakukan wuquf di Arafah pada tanggal 10 karena salah (menentukan waktu) maka wuquf itu cukup (sah), menurut kesepakatan para ulama, dan hari itu dianggap hari Arafah bagi mereka. Bila mereka wuquf pada hari kedelapan karena salah menentukan bulan, maka dalam masalah sahnya wuquf ini ada perbedaan. Yang tampak, wuqufnya juga sah, dan ini adalah salah satu dari dua pendapat dalam mazhab Malik dan Ahmad serta yang lainnya.

‘Aisyah x berkata:

إِنَّمَا عَرَفَةُ الْيَوْمُ الَّذِيْ يَعْرِفُهُ النَّاسُ

“Sesungguhnya hari Arafah adalah hari yang diketahui manusia.”

Asal permasalahan ini adalah bahwasanya Allah l menggantungkan hukum dengan hilal dan syahr (bulan, sebutan waktu). Allah l berfirman:

ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ

“Mereka bertanya tentang bulan sabit. Katakanlah, ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji’. Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.” (al-Baqarah: 189)

Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara dalam hal ini. Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau tidak mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr, diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur di antara manusia maka berarti bulan belum masuk.

Banyak manusia keliru dalam masalah ini karena sangkaan mereka bahwa jika telah muncul hilal di langit maka malam itu adalah awal bulan, baik ini tampak dan masyhur di kalangan manusia, diumumkan maupun tidak. Padahal tidak seperti itu. Bahkan terlihatnya hilal oleh manusia serta diumumkannya adalah perkara yang harus. Oleh karena itu Nabi n bersabda, “Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, bukanya kalian adalah ketika kalian berbuka, dan hari ‘Iedul Adha kalian adalah hari tatkala kalian menyembelih.”

Maksudnya, yaitu hari yang kalian tahu bahwa itu waktu puasa, berbuka, dan ‘Iedul Adha. Berarti jika tidak kalian ketahui, maka tidak berakibat adanya hukum. Berpuasa pada hari yang diragukan, baik itu tanggal 9 atau 10 Dzulhijjah itu diperbolehkan tanpa ada pertentangan di antara ulama. Karena pada asalnya tanggal 10 itu belum ada sebagaimana jika mereka ragu pada tanggal 30 Ramadhan, apakah telah terbit hilal ataukah belum?

(Dalam keadaan semacam ini) mereka (tetap) berpuasa pada hari yang mereka ragukan, menurut kesepakatan para imam. Hari syak (yang diragukan) yang diriwayatkan bahwa dibenci puasa pada hari tersebut adalah awal Ramadhan, karena pada asalnya adalah Sya’ban1.

Yang membuat rancu dalam masalah ini adalah dua masalah:

Pertama, jika seseorang melihat hilal Syawwal sendirian atau dia dikabari oleh sekelompok manusia yang ia ketahui kejujuran mereka, apakah dia berbuka atau tidak?

Kedua, kalau dia melihat hilal Dzulhijjah atau dikabari sekelompok orang yang ia ketahui kejujurannya apakah ini berarti hari Arafah—baginya—serta hari nahr adalah tanggal 9 dan 10 sesuai dengan ru’yah ini—yang tidak diketahui manusia (secara umum)—, ataukah hari Arafah dan nahr adalah tanggal 9 dan 10 yang diketahui manusia (secara umum)?

(Jawaban) masalah pertama, orang yang sendirian melihat hilal tetap tidak boleh berbuka dengan terang-terangan menurut kesepakatan ulama. Kecuali jika ia punya udzur yang membolehkan berbuka seperti sakit atau safar. Kemudian, apakah dengan ia (yang melihat hilal) boleh berbuka dengan sembunyi-sembunyi? Ada dua pendapat di antara ulama, yang paling benar adalah yang tidak berbuka (walaupun) sembunyi-sembunyi. Ini adalah yang masyhur dari mazhab al-Imam Malik dan Ahmad.

Ada riwayat lain pada mazhab mereka berdua untuk berbuka secara sembunyi-sembunyi, seperti yang masyhur dari mazhab Abu Hanifah dan asy-Syafi’i.

Telah diriwayatkan bahwa dua orang pada zaman ‘Umar z melihat hilal Syawwal. Salah satunya berbuka dan yang lain tidak. Tatkala berita yang demikian sampai kepada ‘Umar, ia berkata kepada yang berbuka, “Kalau bukan karena temanmu, maka aku akan menyakitimu dengan pukulan.”2

Hal itu karena yang namanya berbuka adalah hari di mana manusia berbuka yaitu hari ‘Ied (hari raya), sedangkan hari di mana orang tersebut—yang melihat hilal sendiri—berpuasa bukanlah merupakan hari raya yang Nabi n melarang manusia untuk berpuasa. Karena sesungguhnya beliau n melarang puasa pada hari ‘Iedul Fithri dan hari nahr (dengan sabdanya) (qurban), ”Adapun salah satunya adalah hari berbukanya kalian dari puasa. Yang lain adalah hari makannya kalian dari hasil sembelihan kalian.” Maka yang beliau larang untuk berpuasa adalah hari yang kaum muslimin tidak berpuasa, hari yang mereka melakukan penyembelihan. Ini akan jelas dengan masalah yang kedua. (Ini juga pendapat asy-Syaikh Ibnu Baz, lihat Fatawa Ramadhan, 1/65 dan al-Albani dalam Tamamul Minnah, hlm. 398)

Adapun (jawaban) masalah kedua, jika seseorang melihat hilal Dzulhijjah maka dia tidak boleh melakukan wuquf sebelum hari yang tampak bagi manusia yang lain adalah tanggal 8 Dzulhijjah, walaupun berdasarkan ru’yah adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Hal ini karena kesendirian seseorang dalam hal wuquf dan menyembelih mengandung penyelisihan terhadap manusia. Ini seperti yang ada pada saat seseorang menampakkan buka puasanya (sendirian).

Boleh jadi seseorang akan mengatakan bahwa imam (penguasa) yang menetapkan masalah hilal dengan menyepelekan masalah ini karena dia menolak persaksian orang-orang yang adil. Mungkin karena meremehkannya dalam masalah menyelidiki keadilan para saksi, menolak lantaran ada permusuhan antara dia dan para saksi, atau selainnya dari sebab-sebab yang tidak syar’i, atau karena imam berpijak pada pendapat ahli bintang yang mengaku bahwa dia melihatnya.

Maka jawabannya adalah bahwa sesuatu yang telah tetap hukumnya, keadaannya tidak berbeda antara yang diikuti dalam hal penglihatan hilal, baik dia itu mujtahid yang benar dalam ijtihadnya, salah, maupun menyepelekan. Yang penting bahwa jika hilal tidak tampak dan tidak terkenal yang manusia mencari-carinya (maka awal bulan belum tetap)—padahal telah terdapat dalam kitab ash-Shahih bahwa Nabi n bersabda dalam masalah para imam:

يُصَلُّوْنَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَلَهُمْ وَإِنْ أَخْطَأُوْا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka itu untuk kalian dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk kalian pahalanya dan kesalahannya ditanggung mereka.” (Sahih, HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah z)

Maka kesalahan dan peremehannya ditanggung imam, tidak ditanggung muslimin yang tidak melakukan peremehan dan tidak salah.

Wallahu a’lam.

Catatan:

1 Ibnul Mundzir menukilkan ijma’ bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban jika hilal belum dilihat padahal udara cerah adalah tidak wajib dengan kesepakatan (ijma’) umat. Telah sahih dari mayoritas para sahabat dan tabi’in bahwa mereka membenci puasa di hari itu. Ibnu Hajar t mengatakan, “Demikian beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan dan tidak merinci antara ahli hisab atau yang lainnya. Maka barang siapa yang membedakan antara mereka, dia telah dihujat oleh ijma’.” (Fathul Bari, 4/123)

2 Riwayat Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (4/165, no. 7338) melalui jalan Abu Qilabah al-Jarmi t dari ‘Umar bin al-Khaththab z. Abu Qilabah tidak pernah bertemu ‘Umar, berarti sanad ini terputus. Akan tetapi Ibnu Taimiyah t tidak bertumpu pada riwayat ini. Riwayat ini hanya sebagai pendukung.



MENGKAJI SEBAB PERBEDAAN

PENENTUAN AWAL DAN AKHIR ROMADHON DALAM STUDY ILMU FALAK

Oleh: Mustafa Syukur, MSI

.A. PENDAHULUAN

Diantara kita mungkin ada yang pernah ke luar negeri misalnya di Arab Saudi, disana sangat jarang sekali (hampir tidak ada) perbedaan dalam ber-Hari Raya, mereka hampir selalu bersama-sama dalam ber-Hari Raya, tidak seperti di Indonesia yang agak sering terjadi, bahkan menurut catatan; negara kita Indonesia ini memegang rekor tertinggi seringnya berbeda dalam ber-Hari Raya. Perbedaan ini tidak jarang juga menimbulkan keresahan di kalangan ummat Islam dan dapat mengganggu ke khusu’an serta kemantapan persatuan ummat Islam.itu disebabkan perbedaan penentuan awal dan akhir Romadhon.

Sungguh akan lebih indah lagi jika ummat Islam di Indonesia ini bisa bersama-sama dalam ber-Hari Raya. Apa penyebab adanya perbedaan awal dan akhir Romadho yang mengakibatkan Hari Raya di Indonesia berbeda? Dan bagaimana solusinya?

Di dalam makalah ini hal tersebut akan dibahas dan kami berharap bisa menjadi solusi yang akan mengakhiri perbedaan Hari Raya di Indonesia, Amin.

B. PENYEBAB ADANYA PERBEDAAN AWAL DAN AKHIR ROMADHON

Ketika terjadi perbedaan, masyarakat luas pada umumnya langsung ‘Menuduh” bahwa perbedaan itu di sebabkan karena adanya perbedaan antara hisab dan rukyat, memang benar bahwa perbedaan itu dapat di timbulkan karena perbedaan antara hisab dan rukyat. Namun dalam kasus- kasus tertentu, justru perbedaan itu di sebabkan bukan semata-mata oleh adanya perbedaan antara hisab dan rukyat. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan yang di sebabkan oleh adanya perbedaan dikalangan ahli hisab sendiri, atau perbedaan dikalangan ahli rukyat sendiri, atau perbedaan lain diluar teknis hisab rukyat, misal karena adanya informasi dari Saudi Arabia tentang jatuhnya hari wukuf, yang berbeda dengan keadaan di Indonesia, walaupun kalangan dan ahli hisab sepakat mengenai keadaan di Indonesia.

Sehubungan dengan itu, kami ingin mengemukakan penyebab perbedaan dengan membaginya kepada penyebab yang berasal dari perbedaan antara hasil hisab dan rukyah, perbedaan di kalangan ahli hisab sendiri, dan penyebab diluar teknis hisab rukyat.

1) Perbedaan antara hisab dan rukyat.

Dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha di Indonesia, terdapat kelompok masyarakat yang berpedoman pada hisab (misalnya Muhammadiyah) dan kelompok masyarakat yang berpedoman pada rukyat (misalnya NU). Kedua kelompok ini sangat sulit untuk disatukan karena mempunyai alasan fiqh masing-masing, yang berbeda satu sama lain.

Di Indonesia, perbedaan pedoman ini tidak selamanya menimbulkan perbedaan dalam memulai puasa dan berhari raya, bahkan ada kecenderungan sangat sedikit kasus perbedaan yang ditimbulkan oleh perbedaan hisab dan rukyat ini. Dari kasus-kasus yang tercatat di Direktorat pembinaan peradilan Agama, sejak tahun 1962, ada suatu kesimpulan bahwa jika ahli hisab menyatakan hilal berada di bawah ufuq maka tidak pernah ada orang yang melaporkan bahwa hilal berhasil di rukyat. Ini artinya dalam keadaan hilal dibawah ufuq, kalangan hisab dan kalangan rukyat selalu sepakat dalam memulai puasa atau berhari raya.

Sebaliknya, jika Ahli Hisab sepakat Hilal telah di ufuk, maka hampir selalu dilaporkan Hilal berhasil diRukyat. Ini artinya, hasil Hisab hampir selalu sama dengan hasil Rukyat. Kasus perbedaan penetapan awal Romadlon 1407 H atau 1987 adalah diantara sedikit kasus perbedaan yang disebabkan murni karena perbedaan Hisab dan Rukyat. Dalam kasus tersebut, ahli Hisab sepakat bahwa di seluruh wilayah Indonesia Hilal telah berada di atas ufuk, tapi tidak ada laporan yang menyatakan melihat Hilal.

Hanya saja semenjak tahun 2000, ketika Muhammadiyah memutuskan penentuan awal bulan dengan hisab Wujudul Hilal yaitu asal hilal diatas ufuk walaupun kurang dari 2 drajat (misal 0,5 drajat), sedangkan NU (pemerintah RI) tetap berpegang teguh dengan Rukyah-nya, maka perbedaan Hari Raya tersebut agak sering terjadinya. Kenapa? Karena kebiasaannya hilal bisa di rukyah itu minimal ketinggiannya 2 drajat, sehingga ketika tinggi hilal kurang dari itu, maka hilal tidak mungkin bisa dirukyah yang otomatis NU (pemerintah RI) akan menempuh jalan Istikmal sedangkan Muhammadiyah tidak akan menempuh jalan tersebut karena hilal dianggap sudah Wujud. Jadi perbedaan hari raya dapat dipastikan terjadi.

2) Perbedaan dikalangan Ahli Hisab.

Perbedaan dikalangan ahli Hisab pada dasarnya terjadi karena dua hal, yaitu karena bermacam-macam sistem dan referensi Hisab, dan berbeda-bedanya kriteria hasil Hisab yang dijadikan pedoman. Saat ini terdapat lebih dari 30 sistem dan referensi Hisab yang masih dipergunakan oleh masyarakat Indonesia. Semuanya itu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yang dikenal dengan istilah Kolompok Hisab Taqribi, Hisab Tahqiqy dan Hisab Kontemporer kelompok Hisab Taqribiy seperti Kitab Sullamunnayyiroin, Al-Qowa’idul Falakiyah dan Fathur Roufil Mannan menyajikan data dan sistem perhitungan posisi bulan dan matahari secara sederhana tampa menggunakan ilmu ukur segi tiga bola, sedangkan kelompok Hisab Tahqiqy seperti Al-Khulashotul Wafiyah, Hisab Haqiqi dan Nurul Anwar menyajikan data dan sistem perhitungan dengan menggunakan kaidah-kaidan ilmu ukur segi tiba bola. Kelompok Hisab Kontemporer seperti sistem H. Sa’aduddin Jambek dengan Tata Almanak Nautika, Dian Meeus dan Ephemeris Hisab Rukyat, disamping menggunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segi tiga bola, juga mempergunakan data yang up to date.

Ketiga kelompok referensi Hisab tersebut mempunyai keistimewaannya masing-masing. Namun untuk perhitungan posisi bulan dan matahari secara detail ketiga kelompok tersebut menghasilkan data yang berbeda, terutama antara kelompok Hisab Taqriby dengan dua kelompok Hisab lainnya. Sebagai contoh menjelang awal Syawal 1412 H/1992 untuk perhitungan ketinggian bulan, perbedaan tersebut dapat mencapai nilai 4 ½ drajat. Perbedaan ini akan mempunyai konsekwensi perbedaan penetapan awal bulan, jika yang satu menyatakan Hilal sudah diatas ufuk, sementara yang lainnya menyatakan Hilal masih dibawah ufuk, seperti kejadian awal Syawal berturut-turut tahun 1412, 1413 dan 1414 H. dengan demikian, perbedaan itu, bukan hanya terjadi antara kalangan Hisab dan kalangan Rukyat, namun juga terjadi antara kalangan Hisab itu sendiri.

Para Ahli Hisab, selain berbeda-beda dalam menggunakan sistem Hisab, juga berbeda-beda dalam menggunakan kriteria hasil Hisab dalam menetapkan awal bulan Qomariyah. Sebagian berpedoman kepada Ijtima’ Qoblal Ghurub, sebagian berpegang pada posisi Hilal diatas ufuk.

Yang berpegang pada posisi Hilal diatas ufuk juga berbeda-beda ada yang berpedoman pada Wujudul Hilal diatas ufuk, ada yang berpedoman pada Imkan Rukyat 20 atau 50 semuanya ini dapat menimbulkan penetapan yang berbeda walaupun sama-sama menggunakan sistem dan referensi Hisab yang sama. Contoh kasus dalam hal ini adalah perbedaan yang terjadi pada penetapan awal Syawal 1423 H atau 2002 dan awal Dzulhijjah 1423 H / 2003. pada kedua kasus itu, antara kalangan Hisab yang berpedoman pada Wujudul Hilal antara lain Muhammadiyah dan kalangan Hisab yang berpedoman pada Imkan Rukyat 20 (antara lain PERSIS) terjadi perbedaan. Kalangan yang pertama berhari raya satu hari terlebih dahulu dari kalangan yang kedua, sebab tinggi Hilal di wilayah Indonesia sudah diatas ufuk walaupun belum mencapai 20.

Mungkin diantara kita ada yang menganggap bahwa Hisab tidak boleh dipakai dalam penentuan awal bulan Hijriyah, padahal sebenarnya ada Fuqoha’ yang memperbolehkannya. Untuk memperjelas hal tersebut alangkah lebih baiknya kalau kita lihat keterangan Fuqoha’ yang kami kutipkan sebagai berikut:

Sejumlah Hadis Soheh menetapkan bahwa untuk menentukan masuknya bulan Hijriyah, khususnya Romadhon dan Syawal dengan salah satu dari tiga cara : Pertama melihat hilal, kedua menyempurnakan bulan yang bersangkutan (Ikmal) dan yang ketiga : mentakdirkan adanya hilal (mis; dengan ilmu hisab), hanya saja cara yang terakhir ini masih diperselisihkan oleh Fuqoha’.

Perselisihan ini dilatarbelakangi adanya ketidaksamaan interpretasi terhadap kalimat فاقدرواله pada Hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang bunyi lengkapnya:

لاتصوموا حتى ترواالهلال ولاتفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فاقدرواله

“ Janganlah kamu berpuasa sehingga melihat hilal (Romadhon). Dan jangan pula kamu berbuka (berhari raya) sehingga kamu melihatnya (hilal Syawal). Dan jika hilal tertutup mendung, maka taqdirkanlah”.

Satu pendapat mengatakan bahwa makna dariفاقدرواله adalah sempurnakan bulan Sya’ban / Romadhon itu menjadi 30 hari. Sehingga mereka berpendapat bahwa penetapan masuknya awal bulan hijriyah tidak boleh dengan ilmu Hisab. Pendapat ini merupakan pendapatnya Imam Hanafi, Imam Syafi’i, jumhurul salaf dan Kholaf.

Sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa makna dari فاقدرواله adalah perkiraaan hilal itu dengan berdasarkan ilmu Hisab. Sehingga mereka berpendapat bahwa penetapan masuknya awal bulan hijriyah boleh dengan ilmu Hisab. Pendapat ini merupakan pendapatnya Muthorif bin Abdullah (tokoh Tabi’in), Ibnu Suraij, Ibnu Qutaibah dan kebanyakan ulama’ mutaakhirin (zaman sekarang).

Argumentasi Fuqoha’ yang tidak membolehkan ilmu hisab dalam penetapan awal bulan hijriyah antara lain : Hadis Ibnu Umar diatas tidak boleh diamalkan karena hadis tersebut masih bersifat global. Lebih lanjut menurut mereka; hadis Ibnu Umar yang bersifat global harus diartikan dengan hadis yang memuat penjelasaan yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori, yang berbunyi :

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين

” Berpuasalah kamu semua karena terlihatnya (hilal Romadhon) dan berbukalah kamu semua (berhari Raya Idul Fitri) karena terlihatnya (hilal Syawal). Jika ia tertutup bagimu, maka sempurnakanlah ia 30 hari”.

Argumentasi yang lainnya : Barangsiapa yang mengatakan bahwa makna فاقدرواله adalah ditentukan dengan Hisab, dibantah oleh hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, yang berbunyi :

إنا أمة أمية لانكتب ولانحسب

“ Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi, tidak bisa menulis dan tidak pula menghitung”.

Imam An-Nawawi salah satu tokoh dari madzhab Syafi’i menambahkan : Andaikan orang-orang diharuskan melakukan hisab, pasti mereka tidak akan mampu. Karena mereka tidak bisa hisab, yang bisa hanya beberapa orang yang berdomisili di negara-negara besar.

Dari sebagian argumentasi diatas, fuqoha’ tidak membolehkan pemakaian hisab dalam penetapan awal bulan Hijriyah. Dan pendapat inilah yang dianut oleh NU dan pemerintah Indonesia saat ini.

Sedangkan fuqoha’ yang membolehkan penetapan awal bulan Hijriyah dengan ilmu Hisab, berargumentasi : Hadis mengenai perintah puasa dengan cara terlihatnya hilal (ru’yah) oleh fuqoha’ yang membolehkan penggunaan hisab, dipahami bahwa adanya hilal itu dapat dilihat karena antara matahari dan bulan telah terjadi konjungsi, serta posisi hilal sudah berada diatas ufuk. Lebih dari itu adanya perintah istikmal hanya 30 hari karena pada saat matahari terbenam pada hari ke-30 tersebut pasti sudah terjadi konjungsi, serta posisi hilal pasti sudah diatas ufuk sekalipun tidak dapat dilihat. Sehingga ru’yah bil fi’li yang berlaku di zaman Rosululloh dipahami sebagai salah satu media observasi bulan untuk membuktikan keberadaan hilal.

Padahal ilmu Hisab (Qoth’i) dapat memperhitungkan keberadaan hilal yakni kapan terjadinya konjungsi dan bagaimana posisi hilal diatas ufuk, sehingga menurut fuqoha’ golongan ini berpandangan bahwa hisab tidak jauh berbeda dengan ru’yah yaitu sama-sama berfungsi sebagai media observasi (sarana). Oleh karena ru’yah bisa dijadika penetapan awal bulan maka tentunya hisab dapat juga dijadikan dasar penetapan awal bulan, dan diperkuat adanya hadis Ibnu Umar فاقدرواله yang oleh Ibnu Suraij hadis tersebut diperuntukkan untuk orang-orang yang dianugrahi ilmu falak oleh Alloh SWT, sedangkan فأكملوا العدة ditujukan pada orang-orang awam (tidak bisa ilmu Hisab).

Berbedanya khitob (sasaran seruan) lantaran perbedaan situasi dan kondisi adalah persoalan realistis dan hal tersebut banyak terjadi dalam nash-nash agama. Bahkan perbedaan khitob ini menjadi azaz bagi qoidah fiqhiyyah yang berbunyi :

تغير الفتاوى بتغير الزمان والحال

“Berubahnya fatwa-fatwa karena perubahan zaman dan keadaan”.

Lebih jauh lagi Ibnu Suraij mengutip (menukil) pendapat dari Imam Syafi’i bahwa Imam Syafi’i berkata : orang-orang yang madzhabnya itu mengambil pedoman dengan bintang-bintang dan kedudukan bulan, kemudian jelas baginya menurut dalil tersebut bahwa hilal sudah bisa dilihat, tetapi tertutup awan, maka orang tersebut boleh menjalankan puasa dan hal itu sudah mencukupinya (lihat Bidayatul Mujtahid, juz 1 hal 243). Sehingga Ibnu Suraij berpendapat bahwa seseorang yang mengerti ilmu hisab, kemudian dia mengetahui bahwa besok tanggal satu Romadhon, maka ia wajib berpuasa, karena ia tahu berdasasrkan dalil. Jadi, sama saja dengan mengetahui hilal dengan mata kepala.

Sedangkan hujjah (dalil) yang dipakai fuqoha’ bahwa tidak boleh memakai hisab karena kita merupakan ummat ummiyyah (tidak bisa baca dan tulis), menurut Yusuf Al-Qorodhowi kurang tepat untuk masalah ini. Sebab hadis tersebut membicarakan perihal keadaan ummat dan sifat ummi itu dilekatkan oleh Rosululloh pada bangsa Arab ketika beliau baru saja diangkat menjadi Rosul. Tetapi sifat ummiyah bukanlah perkara yang tetap dan dikehendaki oleh Rosululloh. Buktinya beliau telah berusaha keras untuk memberantas buta huruf dengan cara menyuruh para sahabat yang pandai baca dan tulis agar mengajari yang buta huruf dan hal tersebut sudah dirintis oleh beliau semenjak perang Badar. Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang mustahil dalam kondisi ummat yang sekarang ini terdapat orang yang pandai ilmu Hisab.

Adapun penilaian yang dikemukakan oleh Imam An-Nawawi, yaitu bahwa ilmu hisab hanya diketahui oleh beberapa orang yang tinggal di negara-negara besar, hal tersebut benar jika dihubungkan dengan zaman Imam An-Nawawi sendiri. Tetapi menjadi salah kalau dihubungkan dengan zaman sekarang. Ilmu falak (hisab) sekarang sudah dipelajari di berbagai perguruan tinggi yang di bantu dengan teropong bintang. Sehingga sekarang menjadi keputusan internasional bahwa kemungkinan keliru dalam menentukan detik yang dilakukan oleh dewan hisab dan ru’yah 1 banding 100000 (lihat, Fiqhus Shiyam, halaman 26 – 27).

Kalau diperhatikan pendapat dari ulama’ mutaqoddimun, ternyata yang menjadi penyebab tidak dibolehkannya penggunaan hisab karena beralasan (illatnya) ummat Islam adalah ummi (tidak bisa baca dan hitung), sebagaimana bunyi dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim: إنا أمة أمية لانكتب ولانحسب.

Hal ini berarti menjadikan ru’yah sebagai satu-satunya cara untuk penetapan awal bulan karena illat yang sudah di nash oleh agama yaitu kita adalah umat yang ummi (tidak bisa membaca dan menghitung), yang otomatis bertentangan dengan qoidah fiqhiyyah yang berbunyi

الحكم يدور مع العلته وجودا و عدما

“ Hukum itu tergantung pada illatnya, baik adanya maupun tidak adanya “.

Maksud dari qoidah ini: apabila illatnya ada; yaitu umat islam yang ummi (tidak bisa baca dan hitung) maka hukumnya pasti ada; artinya penetapan awal bulan harus dengan ru’yah. Akan tetapi apabila illatnya tidak ada yaitu seluruh atau sebagian besar ummat islam sudah bisa membaca dan berhitung (ilmu Hisab), otomatis hukum wajib ru’yah juga tidak ada (bisa diganti dengan hisab).

Agak banyak ulama’ mutaakhirin (masa sekarang) yang memberikan fatwa : penetapan awal bulan hijriyah dengan ilmu hisab (qoth’i), antara lain : Al-Muhaddis Al-Kabir Al-Allamah Ahmad Mohammmad Syakir, Al-Allamah Asy-Syahid Rosyid Ridho, Al-Faqih Al-Kabir Asy-Syeh Mustofa Az-Zarqo’ Hafizdohulloh, Syeh Mustofa Al-Maroghi, Syeh Ali Tantowi, Doktor Yusuf Al-Qorodhowi dll.

Dalam hal ini, Al-Muhaddis Al-Kabir Al-Allamah Ahmad Mohammmad Syakir telah menulis risalah dengan judul Awailus Syuhur Al-Arobiyah. Dalam risalah tersebut di jelaskan dengan panjang lebar berdasar dengan dalil-dalil yang kuat, ringkasannya sebagai berikut :

“Bangsa yang ummi, yang tidak kenal baca dan tulis, harus berpegang teguh kepada ru’yah. Tetapi bila situasi dan kondisi telah berubah, dimana ummat Islam sekarang sudah pandai menulis dan berhitung, tidak lagi memerlukan bantuan ghoirul muslimin dalam menetapkan awal bulan dengan hisab, mereka bisa berpegang kepada hasil hisab sebagai ganti dari ru’yah. Sebab hisab merupakan wasilah (sarana) yang lebih jeli, lebih teliti, dan lebih mudah mempersatukan pendapat kaum muslimin dalam mengawali masuknya bulan baru. Menurut beliau awal bulan bisa ditetapkan : apabila menurut hasil hisab tenggelamnya matahari lebih dulu dari hilal walaupun hanya terpaut beberapa detik saja.“ (lihat Risalatu Awailis Syuhur Al-Arobiyah, hal 7-15). Kayaknya pendapat inilah yang di adopsi kalangan Muhammadiyah.

Hanya saja pendapat Syeh Syakir yang terakhir ini (yang saya garis bawahi) dikritik oleh Yusuf Al-Qorodhowy, beliau berkata bahwa terlihatnya hilal memerlukan waktu, teks nya sebagai berikut :

المرجح أن يبقى بعد الغرب مدة يمكن فيها ظهوره، بحيث يمكن رؤيته باالعين المجردة، وذلك نحو أو [20] دقيقة على ما ذكر أهل الإختصاص.

Maksud dari teks diatas :“Pendapat yang kuat : awal bulan bisa ditetapkan apabila hilal sudah wujud, dalam arti memungkinkan di lihat dengan mata; yang menurut ahli ihtishos (Astronom) : hilal baru wujud (imkanurru’yah) ketika tenggelamnya hilal 15 menit atau 20 menit setelah terbenamnya matahari.

Dari sini jelas, bahwa Yusuf Al-Qorodhowy cenderung pada hisab imkanurru’yah, yang sebelumnya pendapat ini juga pernah dilontarkan oleh : Al-Qolyubi, Ibnu Qosim Al-Ubbadi , Al-Imam Ibnul Daqiqil Id dan fuqoha’ lainnya.

Menurut hemat kami, penetapan awal bulan dengan hisab yang mensyaratkan kriteria imkanurru’yah; lebih kuat, karena perintah ru’yah dari Rosululloh صوموا لرؤيته; mengisyaratkan kepada kita bahwa hilal adalah fenomena yang tampak, dan tidak relevan jika berkenaan dengan sesuatu yang tidak tampak.

Dan kita perlu memperhatikan dan mempertimbangkan apa yang di katakan Yusuf Al-Qorodhowi dalam buku Ushul Feqihnya, yang intinya : Untuk memahami hadis yang baik, maka kita harus dapat membedakan antara tujuan dan sarana (wasilah).

Dalam hadis Ibnu Umar صوموا لرؤيته menunjukkan adanya tujuan dan sarana. Tujuan dari hadis tersebut kita disuruh berpuasa pada bulan Romadhon secara keseluruhan, sedangkan sarana untuk memulai berpuasa adalah dengan ru’yah bil fi’li; yang merupakan sarana yang termudah bagi ummat Islam pada zaman Rosululloh. Kalau kita mempunyai sarana lain dan jauh dari kemungkinan salah, keliru, kebohongan dan sangat mudah yaitu ilmu Hisab. Kenapa kita harus jumud atau terus berpegang pada sarana yang sebenarnya itu bukanlah tujuan dari hadis yaitu berpuasa ?.

Dari dua pendapat tersebut diatas (penetapan awal bulan dengan ru’yah dan hisab) yang sejalan dengan ilmu Astronomi adalah pendapat yang terakhir yaitu : bolehnya pemakaian hisab dalam penentuan awal bulan jika hilal sudah wujud, dalam arti ada sebagian piringan bulan yang menghadap ke bumi; yang seumpama tidak ada penghalang (misalnya mendung), hilal akan terlihat. Pertimbangannya : peredaran atau kedudukan bulan bisa diketahui dengan keakuratan yang mendekati orde detik dan hal itu bisa dibuktikan dengan observasi. Dan bisa terjadi suatu kasus yang tidak logis yaitu : seumpama hilal telah wujud diatas ufuk dengan ketinggian 11 drajat, lalu terjadi mendung. Nah….kalau awal bulan kita undur (istikmal karena mendung) maka tidak tertutup kemungkinan bulan purnama akan terjadi pada tanggal 12. Hal ini tidak logis karena bulan purnama tidak pernah terjadi pada tanggal 12.

Dan rupanya pendapat fuqoha’ yang membolehkan penetapan awal bulan hijriyah dengan ilmu hisab ini, digunakan oleh Muhammadiyah.

Solusi terbaik bagi kita dengan adanya fuqoha’ yang mewajibkan ru’yah dan hisab adalah menggabungkan kedua-duanya, artinya kita tetap melakukan ru’yah karena jumhurul fuqoha’ mengatakan hal tersebut fardu kifayah dan ru’yah sifatnya ta’abuddy (tidak menerima interpretasi selain ru’yah), tetapi hasil ru’yah tersebut harus dikontrol dengan hisab. Jika menurut hisab; hilal tidak mungkin untuk diru’yah, maka ru’yah tersebut wajib ditolak.

3) Perbedaan dikalangan ahli Rukyat

Tidak seluruh kalangan ahli Rukyat di Indonesia, kini, keadaannya sama seperti dimasa Nabi SAW, dimana laporan Rukyat dari seorang Muslim diterima tanpa syarat. Kini sebagian ahli Rukyat mensyaratkan bahwa hasil Rukyat harus selalu sesuai atau didukung oleh hasil Hisab. Jika hasil rukyat bertentangan dengan hasil Hisab maka hasil rukyat tidak dapat diterima. Akibatnya, dikalangan ahli Rukyat itu sendiri perbedaan dimulai puasa dan berhari raya dapat terjadi seperti kasus-kasus pada Idul Fitri 1412H/1992, 1413H/1993 dan 1414H/1994.

Disamping itu para ahli Rukyat masih belum sepakat bulat tentang Mathla’, sejauh mana jangkauan berlakunya hasil Rukyat suatu tempat, masih terjadi perdebatan. Ada yang menganggap hasil rukyat suatu tempat hanya berlaku lokal, namun ada juga yang berpendapat bahwa Rukyat suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia (global). Perbedaan pendapat mengenai Mathla’ ini dapat mengakibatkan perbedaan dalam memulai puasa dan berhari raya. Kasus seperti ini banyak terjadi jika di Saudi Arabia dikabarkan telah berhasil Rukyat. Maka di Indonesia akan terpengaruh oleh informasi hasil Rukyat tersebut.

Dan karena pentingnya permasalahan ini maka kami akan mencoba mengutipkan pendapatnya Fuqoha’ mengenai matla’ tersebut dengan agak panjang lebar sebagai berikut:

Seperti yang telah kita ketahui Fuqoha’ berselisih pendapat mengenai seberapa luas batas geografis pemberlakuan hasil ru’yah. Sebagian fuqoha’ berpendapat bahwa hukum ru’yah itu bersifat lokal (hasil ru’yah mengikat daerah sekitarnya saja). Itulah pendapat mayoritas Syafi’iyyah. Sedangkan menurut Imam Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i, berpendapat bahwa ru’yah itu global artinya hasil ru’yah mengikat seluruh dunia .(lihat, Rohmatul ummah Fihtilafil Aimmah, hal 94).

Catatan: menurut keterangan lain hasil ru’yatul hilal suatu negara tidak berlaku bagi negara lain yang sangat jauh seperti Andalus (Spanyol) dan Hijaz (U.E.A.)

Perbedaan ini; salah satunya dilatarbelakangi oleh hadis Kuraib yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Abbas yang berbunyi :

عن كريب أن امّ الفضل بعثته إلى معاويةَ بالشام، فقال : فقدمت الشام، فقضيت حاجتَها، واستهِلَّ عليّ رمضانُ وأنا باالشام، فرأيت الهلالَ ليلة الجمعة، ثم قدمت المدينةَ في آخر الشهر، فسألني عبدالله بن عباسٍ، فقال : متى رأيتم الهلالَ ؟ فقلت : رأيناه ليلة الجمعة، فقال : أنت رأيتَه ؟ فقلت : نعم، ورآه الناسُ وصاموا، وصام معاويةُ، فقال : لكنا رأيناه ليلة السبت، فلانزالُ نصوم حتى نكمل ثلاثين أونراه، فقلت : ألا نكتفي برؤية معاويةَ وصيامه ؟ فقال : لا، هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم

.

“Dari Kuraib, sesungguhnya dia telah diutus oleh Ummul Fadli untuk menemui Muawiyah di Syam, Kuraib berkata : lalu aku ke Syam dan menyelesaikan keperluan Ummul Fadli itu. Ketika bulan Romadhon tiba, aku masih berada di Syam dan aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke Madinah pada akhir bulan Romadhon. (ketika itu) Abdulloh bin Abbas bertanya kepadaku tentang hilal ; “kapan kamu melihat hilal?” aku menjawab : “kami melihat hilal pada malam Jum’at”. Ibnu Abbas bertanya lagi : “Kamu melihatnya juga ?” jawabku : “Ya, dan orang lain juga melihatnya dan mereka berpuasa, demikian pula Muawiyah”. Lalu Ibnu Abbas berkata : “Tetapi kami disini melihat hilal pada malam sabtu. Jadi kami tetap berpuasa sampai genap 30 hari atau sampai kami melihatnya (kembali) “. Kemudian aku bertanya : “ Apakah tidak cukup dengan ru’yahnya Mu’awiyah dan dengan puasanya ?”. Ibnu Abbas menjawab : “Tidak, sebab demikianlah perintah Rosululloh SAW kepada kami”.

Satu pendapat mengatakan bahwa hadis ini tidak perlu diamalkan karena Ibnu Abbas dalam hadis Kuraib itu hanya menuturkan pemahamannya sendiri terhadap perintah Rosululloh SAW dan bukan meriwayatkan sesuatu yang beliau hafal dari Rosululloh. Sehingga hadis Kuraib yang sebenarnya bisa bertindak sebagai Mukhosis (yang mengkhususkan), tidak dapat mentakhsis hadis lainnya yang menunjukkan makna umum (ru’yah global) yaitu

صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين

Sehingga mereka berpendapat bahwa ru’yah itu global, sesuai dengan khithob (seruan) dalam sabda Rosululloh Shumu (berpuasalah kamu) dan Aftiru (berbukalah kamu) yang menunjunkkan makna umum di tujukan kepada seluruh kaum muslimin di segala penjuruh dunia (berlaku secara global). Keberlakuan global ini berdasarkan kaidah syara’:

العام يبقى على عمومه مالم يرد دليل التخصيص

“Sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada keumumannya sampai tidak ada dalil yang menghususkannya”.

Disamping itu lafadz ru’yatuhu (dalam rangkaian liru’yatihi) adalah isim jinis yang di sambung dengan kata ganti (orang ketiga tunggal), yang artinya ru’yatul hilal yang di lakukan oleh siapapun di antara kaum muslimin.

Dan ada satu pertimbangan lagi yang sangat penting yaitu persatuan dari umat islam itu sendiri. Apabila hukum ru’yah di berlakukan secara lokal, maka hal tersebut bisa memancing perpecahan.

Dari kesekian argumen di atas, jumhurul fuqoha’ mengatakan ru’yah di suatu negara berlaku juga bagi negara-negara lain di dunia (bersifat global).

Sedangkan pendapat fuqoha’ lainnya menerima (mengamalkan) hadis Kuraib, yang otomatis mentakhsis hadis Ibnu Umar yang bersifat umum, artinya ru’yah tersebut bersifat lokal. Pertimbangan kelompok ini adalah syara’ menggantungkan kewajiban puasa dengan lahirnya bulan Romadhon, sedangkan permulaan bulan pastinya berbeda karena adanya perbedaan jauh dekatnya antara negara satu dengan yang lainnya. Disamping itu mereka mengqiyaskan perbedaan terbit-terbenamnya bulan dengan terbit-terbenamnya matahari; sebagaimana kita ketahui antara daerah satu dan lainnya berbeda.

Didalam madzhab Syafi’i, diketemukan setidaknya 5 pendapat tentang jarak ke garis batas matla’ dari lokasi ru’yatul hilal, yaitu :

1.Pemberlakuan hasil ru’yah hanya sejauh jarak dimana qoshor sholat tidak diijinkan, yaitu kira-kira 80 km.

2. Pemberlakuan hasil ru’yah 8o bujur.

3.Pemberlakuan hasil ru’yah se-negara (wilayatul hukmi). Seperti yang dianut oleh Indonesia, sehingga di bagian manapun dari wilayah Indonesia ru’yah dilakukan, maka hasilnya dianggap berlaku untuk seluruh Indonesia.

4.Pemberlakuan hasil ru’yah adalah sejauh 24 farsakh (133 km).

5. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam As-Sarokhsi, ukurannya bukan jarak tertentu, melainkan peluang ru’yah atau imkanurrukyah. Teksnya sebagai berikut :

إذا رآه أهل ناحية دون ناحية، فإن قربت المسافة لزمهم كلهم. وضابط القرب : أن يكون الغالب أنه إذا أبصره هؤلاء لايخفى عليهم إلالعارض، سواء في ذلك مسافة القصر أوغيرها. قال : فإن بعدت المسافة، فثلاثة أوجه [احدها] يلزم الجميع، ـ الى ان قال ـ [والثالث] إن كانت المسافة بينهما بحيث لايتصور أن يرى ولايخفى على أولئك بلاعارض لزمهم، وإن كانت بحيث يتصور أن يخفى عليهم فلا.

Maksud dari teks diatas : Hasil ru’yah berlaku juga bagi daerah (negara) yang jauh, jika daerah yang jauh tersebut sudah imkanurru’yah, tetapi jika daerah yang jauh tersebut hilal tidak mungkin di ru’yah (misalnya hilal masih di bawah ufuk), maka hasil ru’yah daerah lain tidak berlaku bagi daerah yang tidak imkanurru’yah tersebut.

Menurut hemat kami, dari kelima pendapat tersebut diatas yang sesuai dengan sudut pandang Astronomi adalah pendapat yang terakhir (pendapatnya Imam As-Sarokhsi), yaitu menjadikan visibilitas hilal atau imkanurru’yah sebagai acuan dalam penentuan garis batas matla’. Misalkan daerah Mesir berhasil ru’yah dengan ketinggian hilal 8o, sedangkan ketinggian hilal di Indonesia pada saat tersebut mencapai sekitar 5o (imkanur ru’yah), maka Indonesia termasuk ikut matla’ Mesir, karena termasuk kawasan imkanurru’yah. Tetapi jika daerah Mesir berhasil ru’yah dengan ketinggian hilal 5o sedangkan ketinggian hilal di Indonesia pada saat tersebut hanya sekitar 1o (tidak imkanurru’yah), maka Indonesia tidak termasuk ikut matla’ Mesir, karena tidak termasuk kawasan imkanurru’yah

Dan secara empirik pun, ternyata permukaan bumi sesudah matahari terbenam paska konjungsi disetiap akhir bulan, selalu terbagi menjadi dua, yakni kawasan yang mengalami penampakan hilal dan kawasan yang tidak mengalami penampakan hilal. Karena itu daerah-daerah di dalam kawasan yang mungkin mengalami penampakan hilal bisa memasuki bulan baru berdasarkan ru’yatul hilal, sedangkan daerah-daerah yang berada diluarnya harus memasuki bulan baru berdasarkan istikmal.

Pendapat Imam As-Sarokhsi merupakan solusi terbaik dalam menanggapi perbedaan fuqoha’ pada permasalahan berlakunya hukum ru’yah (lokal atau global).

4) Penyebab diluar tehnis Hisab Rukyat

Khusus mengenai perbedaan penetapan Idul Adlha di Indonesia, selain penyebab-penyebab tersebut diatas, juga karena adanya pemehaman Fiqih yang berbeda, sebagian menghendaki agar Idul Adha di Indonesia mengikuti penetapan hari Wukuf di Saudi Arabia sedangkan sebagian lain menghendaki agar penetapan Idul Adha di Indonesia berdasarkan keadaan di Indonesia.

Sejak lama perbedaan pemahaman tersebut berusaha untuk dipertemukan, namun penyeragaman pemahaman sangat sulit untuk dapat dilaksanakan. Akhirnya dilakukan usaha perumusan pedoman penetapan Idul Adha sebagai pegangan pemerintah. Untuk itu dilakukan Musyawaroh-musyawaroh pada tahuan 1977,1987 dan 1992. hasilnya tetap bahwa Idul Adha di Indonesia dilakukan berdasarkan keadaan di Indonesia, tidak mengikuti penetapan di Saudi Arabia.

Khusus mengenai proses penetapan Idul Adlha di Indonesia, ada perkembangan yang menarik untuk dikemukakan disini, jika kita perhatikan keputusan-keputusan menteri agama sejak dulu sampai sekarang, maka terlihat bahwa sejak dahulu penetapan Idul Adha dilakukan bersamaan dengan penetapan hari-hari libur nasional lainnya, dalam bentuk keputusan Menteri Agama tentang hari libur yang dikeluarkan pada tahun sebelumnya. Dengan demikian, maka Idul Adlha dilakukan berdasarkan Hisab, tanpa Rukyat dan tanpa sidang Itsbat. Namun sejak tahun 2001, sejak zaman Mentri Agama Bapak K.H.M. Tolhah Hasan dalam rangka mengakomodir pendapat-pendapat yang berkembang, maka penetapan Idul Adlha pun dilakukan dalam sidang Itsbat, setelah menerima laporan hasil Hisab dan hasil Rukyat. Nampaknya memang lebih demokratis, namun ada juga yang berpendapat bahwa semakim banyak dimusyawarohkan semakin banyak pula kemungkinan adanya perbedaan.

Penyebab non tehnis lainnya-dan ini merupakan penyebab utama terjadinya perbedaan- adalah sulitnya dilakukan kesepakatan tentang pedoman penetapan awal bulan Qomariyah yang dapat mengikat semua pihak. Kesepakatan telah berkali-kali diusahakan, namun selalu sulit untuk dapat diterima secara bulat oleh semua pihak. Sebetulnya, pernah ada suatu kemajuan, dimana semua pihak sepakat bahwa yang mempunyai hak Itsbat adalah pemerintah. Namun manakala keputusan pemerintah itu tidak sama dengan keputusan kelompok, maka bagi kelompok tersebut keputusan kelompoklah yang diberlakukan.

Daftar Pustaka

Ad-Dasuqi, Syamsuddin Mohammad Bin Ahmad Bin Urfah,, Hasyiyah Ad-Adasuqi, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.

Ad-Dimasyqi, Al-Allamah Muhammad Bin Abdurrohman, Rohmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah, Al-hidayah, Surabaya, tt.

Al-Allamah Asy-Syahid Rasyid Ridho., Tafsir Al-Manar.

Al-Asqolany, Al-Hafidz Ibnu Hajar., Fathul Bari Syarah Al-Bukhori, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.

Al-Bahuti, Mansur Bin Yunus Bin Idris., Kasysyaful Qina’, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.

Al-Qorodhowy, Dr. Yusuf., Fiqhus Shiyam, Darul Wafa’, 1992.

Al-Qorodhowy, Dr. Yusuf., Alfiqhu wa Ushuluhu, CD Al-Qorodhowy Alfiqh wa Ushuluhu.

Al-Qurthuby, Abu Abdulloh Mohammad bin Ahmad Al-Anshori., Al-Jami’ul Ahkamil Qur’an, CD Maktabatut Tafsir wa Ulumul Qur’an.

An-Namlah, Abdul Karim bin Ali bin Mohammad., Al-Jami’ Li-Masaili Ushulil Fiqhi, Maktabatul Rusydi, Riyadh, 2002.

An-Nawawy, Imam Abu Zakaria Muhyiddin Bin Syarof., Soheh Muslim bi Syarah An-Nawawy, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.

An-Nawawy, Imam Abu Zakaria Muhyiddin Bin Syarof., Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab, Darul Fikri, tt.

As-Sarwany, As-Syeh Abdul Hamid., Al-Ubbady, As-Syeh Ahmad Bin Qosim., Hawasyi As-Syarwany wa Ibnu Qosim ala Tuhfah Al-Muhtaj bi Syarhil Minhaj, Darul Fikri, Beirut Lebanon,tt.

As-Shobuny, Mohammad Ali., Rowaiul Bayan Tafsir Ayatul Ahkam minal Qur’an, Daru Ihyait Turasti Al-Aroby, Beirut, Lebanon, 2001.

As-Shobuny, Mohammad Ali., Shofwatut Tafasir, Al-Maktabah Al-Ashriyyah, Shoida, Beirut, 2002.

As-Shon’any, Mohammad Isma’il Al-Amir Al-Yamany., Subulus Salam Syarah Bulugul Marom, Darul Kitab Al-Aroby, 2001.

As-Subki, Imam Taqiyuddin., Fatawa As-Subky, CD Jami’ul Fiqh Al-Islamy.

As-Suyuti, Jalaluddin Abdur-Rohman Bin Abi Bakar., Asy-Asybah wa An-Nazhoir, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.

As-Syafi’i, Abdulloh Bin Mohammad Bin Idris Bin Abbas Bin Ustman., Al-Um, CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.

As-Syaukani, Mohammad Bin Ali Bin Mohammad., Nailul Author Syarah Muntaqol Akhbar, CD Al-Maktabatul Al-Fiyah lis-Sunnah An-Nabawiyyah.

Az-Zuhaily, Wahbah., Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuh, Darul Fikri, 2002.

Ibnu Abidin., Hasyiyah Roddul Mukhtar al Ad-Darul Mukhtar (Hasyiyah Ibnu Abidin), CD Maktabatul Feqih wa Ushulihi.

Ibnu Rusydi Al-Hafid., Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Al-Maktabah Al-Ashriyyah, Shoida, Beirut, 2002.

Syakir, Al-Allamah Ahmad Mohammad., Risalatu Awailis Syuhur Al-Arobiyyah, Maktabah Ibnu Taimiyyah, tt.